Modesta Wisa, Dewan BPAN Nasional Region Kalimantan ini tak berhenti berkreasi. Rabu lalu dia tiba di Jakarta memenuhi undangan Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air yang berlangsung selama tiga hari, 13 – 16 Juli di Garut. Ia mendapat undangan dari Sajogyo Institute dan The Samdhana Institute untuk berbagi cerita tentang sekolah adat.
“Aku mewakili Sekolah Adat,” akunya.
Dalam kesempatan ini, media propaganda Pemuda Adat berkesempatan kembali mengobrol dengannya. Ternyata sudah banyak perkembangan cerita Sekolah Adat Samabue (SAS). Perempuan yang juga anggota BPAN Kalbar ini membagikan cerita-cerita baru tersebut.
Ia menceritakan bahwa isu Sekolah Adat saat ini tengah booming di Kalimantan Barat. Dengan kata lain SAS berhasil menularkan virus-virus pendidikan adat yang selama ini bahkan tidak dianggap. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar dalam ulang tahun SAS yang pertama, Februari lalu.
“Kita sudah diketahui Dinas Pendidikan Provinsi (Kalbar—red). Bahkan mereka menyumbang laptop agar bisa membantu menyimpan data-data Sekolah Adat,” ujarnya.
Sambutan positif pun berdatangan dari beragam stake holder. Saat ini dukungan dari berbagai pihak menguat seperti support materi, moril dan semangat. Faktanya beberapa kabupaten tertarik mengikuti jejak SAS untuk mendirikan sekolah adat, misalnya di Kecamatan Jagoi Babak, Kabupaten Bengkayang berbatasan dengan Malaysia. Selain itu, SAS juga membantu menginisiasi Sekolah Adat Radakng Pamane (Sarapa) di Desa Lingga, Kecamatan Ambawang, Kabupaten Kubu Raya.
“Rencananya SAS dan Sarapa akan bersama-sama menginisiasi Sekolah Adat di Kecamatan Delta Kapuas, Kabupaten Kubu Raya.”
Kini jumlah peserta didik Sekolah Adat sudah ada 120 orang yang tersebar di empat komunitas: Binua manyalitn, Binua Kaca Tangah, Binua Lumut Ilir dan Binua Lumut Tangah.
Penambahan kelas
Perkembangan terbaru khusus di SAS terdapat dua kelas yang tambah: kelas makanan tradisional dan kelas Silat Dayak. Silat warisan leluhur serupa, misalnya dapat dilihat pada Silat Kuntao dari Paser, Kalimantan Timur. Untuk tenaga pengajar kelas silat terdiri dari murid Sekolah Adat yang sudah belajar silat sejak kecil. Kelas silat yang dimaksud adalah Silat Dayak peninggalan leluhur.
Dalam kelas singara juga, selain tetua adat yang bercerita, belakangan sudah dilakukan para pemuda. Para pemuda ini sudah mempelajari dan tahu tentang kisah-kisah lokal (cerita-cerita rakyat) sesuai istilahnya singara: mendongeng. Para pemuda yang mempelajari dan meneruskan pengetahuan singara dan mengisi dalam kelas singara SAS di antaranya Nopianus Yance, Alexander Alex, Janur dan Kuswanto.
Selama libur Lebaran 2017, aktivitas di SAS berlangsung mulai pagi hari. Para peserta didik SAS langsung bermain dan belajar ke alam; di sana diadakan kelas tentang pengetahuan tanaman tradisional. Bagaimana bentuk-bentuk tanaman tradisional, apa manfaatnya, bagaimana menjaganya, mengapa tumbuhnya membutuhkan tanah yang steril dari limbah pabrik misalnya, dan sejumlah pertanyaan yang menjadi panduan pelajaran bagi mereka.
Meskipun demikian, anak-anak justru sudah banyak yang mengenal dan memahami kegunaan sejumlah tanaman tradisonal tersebut. “Mereka (peserta didik—red) justru lebih tahu tentang manfaat tanaman-tanaman yang ada di hutan. Kita hanya memberi tugas, menuliskan seputar tanaman sekitar hutan dalam Bahasa Dayak, dan juga membuat cerita rakyat dalam Bahasa Dayak,” kata perempuan yang ikut dalam COP 22 tahun lalu di Maroko ini.
Wisa melanjutkan, untuk proses tersebut mereka langsung melibatkan orangtua, utamanya terkait bahasa dan tulisan-tulisannya. Mereka bertanya langsung kepada para orangtuanya di rumah. Selain itu juga para penggagas SAS turut serta menambah wawasannya dengan berdiskusi kepada para tetua adat.
Wisa mengaku saat ini dia dan tim SAS tengah menulis tentang etnografi kampung. Proses penulisan etnografi kampung yang berhubungan dengan wilayah adat. Semuanya dia lakukan dengan mendatangi para tetua adat untuk bertanya.
“Saya terlibat dengan tim Perempuan AMAN tentang penulisan asal usul kampung. Pada permulaan ini, saya menulis tentang kampungku (Manyalitn—red) sendiri. Isinya tentang perubahan-perubahan yang terjadi di kampung, contohnya soal lingkungan, sejarah dll,” katanya.
Hasilnya nanti, tambahnya, akan diajarkan kepada anak-anak.
Terakhir di internal penggagas SAS, saat ini mereka memasuki fase penyusunan kepengurusan baru. SAS tengah merencanakan pembagian divisi masing-masing, sehingga setiap anggota tim fokus mengurusi bidang tersendiri.
Jakob Siringoringo