Sekolah Adat Koha: Protes atas Pendidikan Formal

Kala para pemuda kebanyakan larut dengan budaya populer, Nedine Helena Sulu (31) malah asyik menggali tradisi leluhur. Mahasiswi S1 Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Manado (Unima) itu bahkan mendirikan Sekolah Adat Koha sejak April 2016.

Puluhan anak muda berusia antara 18-30 tahun berkumpul di salah satu area perkebunan Desa Koha, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

Mereka berkumpul untuk belajar sambil duduk melingkar mengelilingi sebuah batu besar dan menikmati singkong, pisang dan jagung rebus, dabu-dabu roa dan buah langsat. 

“Ini salah satu kegiatan belajar di Sekolah Adat Koha. Ini juga bentuk inisiatif untuk menelusuri jejak leluhur, mempelajarinya, sekaligus mewarisi kearifan lokal leluhur Minahasa,” tutur Nedine, Kamis, 16 Februari 2017.

Dia berpendapat, di era kecanggihan teknologi, pemuda setempat justru semakin tercabut dari akar budaya lokal. Padahal, budaya memberi identitas pada mereka. 

“Leluhur kita melalui tradisinya sebenarnya mengajarkan kita bagaimana mengelola lingkungan, hutan, untuk kelangsungan hidup,” ujar Nedine.

Nedine mengungkapkan, di sekolah itu para pemuda mempelajari asal-usul suku Minahasa, pengetahuan obat-obatan tradisional, pangan lokal, cara bertani, lagu, tarian seperti kawasaran dan bahasa daerah.

Lihat juga: Menelusuri Jejak Leluhur: Kawasaran 

“Karena kita tahu, dalam pendidikan formal di sekolah para pelajar tidak mendapatkan pengetahuan mereka tentang hal-hal ini semua. Sekolah adat ini juga sebagai bentuk protes terhadap pendidikan formal yang kurang memperhatikan nilai-nilai dan kearifan lokal,” ujar Nedine yang juga merupakan Ketua Pemuda Gereja di kampungnya ini.

Silabus dan metode pembelajaran dalam Sekolah Adat Koha Ini juga tergolong unik.

“Saya lebih banyak memberikan pengantar, lalu peserta menemukan langsung di lapangan. Setelah itu kita diskusikan dengan para tetua adat, atau ahli sejarah dan budaya,” kata Nedine.

Semangat musyawarah yang kental juga terbawa saat penentuan waktu dan tempat belajar para anggota. Pasalnya, mereka punya kesibukan masing-masing.

“Puluhan anak muda ini rata-rata sudah bekerja, atau sementara kuliah. Sehingga memang kita atur bersama jadwal sekolah,” ujar dia.

Sekolah Adat Koha memang menyasar anak muda sebagai target utama. Pertimbangannya, mereka dinilai paling rawan digilas modernisasi. “Kalau anak-anak, pendidikan informal di rumah masih cukup kuat,” kata perempuan yang juga aktif di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Utara ini.  

Salah satu kegiatan belajar yang dilakukan Sekolah Adat Koha adalah menggelar kegiatan permainan tradisional dan ziarah kultura, akhir Januari lalu di hutan sekitar Desa Koha.  

Kegiatan diawali dengan ziarah kultura ke beberapa situs sejarah seperti waruga (kuburan kuno) para pendiri kampung, batu ‘pasela’ atau batu pendirian kampung, dan situs sejarah jejak kaki Siow Kurur (jejak kaki raksasa di batu).

lihat juga: Ziarah Kultura 

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan diskusi mengenai permainan tradisional sembari mempraktikkannya langsung. Permainan diharapkan bisa kembali membangkitkan kepedulian masyarakat Minahasa atas budayanya sendiri.

“Tambah lagi kurangnya akses buku, guna melihat tulisan dokumentasi budaya Minahasa. Dengan ziarah kultura, kita akan belajar dan mengetahuinya banyak karena berkunjung pada situs budayanya langsung, untuk mendapatkan ingatan terkait tempat-tempat itu,” tutur Nedine.

Tak hanya itu, mereka juga mendokumentasikan situs budaya serta permainan tradisional daam bentuk catatan-catatan. “Ini penting agar nilai adat tidak dilupakan,” ujar Nedine.

Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sulawesi Utara, Eirene Christi Mamahit menyampaikan, pentingnya permainan tradisional mengajarkan seorang anak makna sebuah kebersamaan, interaksi dan bersosialisasi. 

“Seperti permainan benteng dulu itu memiliki makna. Ini mengartikan seseorang harus mampu mempertahankan wilayahnya dan kawan-kawannya jangan sampai direbut. Untuk menyerang harus juga memberdayakan kemampuan teman-teman yang ada,” ujar Eirene.

Sementara, terkait ziarah kultura yang telah dilaksanakan, dipandang sebagai wadah mempelajari nilai-nilai kebaikan yang diwariskan para leluhur Minahasa. Salah satunya tentang pentingnya pohon dan hutan.

“Hutan adalah denyut nadi kehidupan, pohon harus dilestarikan, mata air harus dijaga,” papar dia.

Menjalankan aktivitas belajar di lapangan yang banyak bersentuhan dengan pohon, hutan, batu serta benda-benda purbakala, termasuk ritualnya, menjadi tantangan tersendiri. Tantangan itu terutama datang dari pemuka agama yang menilai aktivitas anak-anak muda ini sebagai sesuatu yang sesat. 

“Kami sempat dibilang menyembah berhala. Sempat juga ada larangan bagi anak muda untuk mengikuti sekolah adat itu,” tutur Nedine.

Lihat juga: Ritual Pemuda Adat Tonsea …

Memanfaatkan kapasitasnya sebagai Ketua Pemuda Gereja di Desa Koha yang setiap pekan bisa berdiri di mimbar gereja, Nedine mengambil momen itu untuk menjelaskan kepada jemaat bagaimana pentingnya mengetahui dan lestarikan budaya leluhur yang masih kontekstual dengan perkembangan jaman. 

“Leluhur kita memang belum mengenal Tuhan, tapi mereka mengenal Opo Empung. Sosok yang punya kuasa, yang mengajarkan perdamaian bagi manusia. Ini substansinya, meski cara leluhur dulu bukan pergi ke gereja untuk bersembahyang,” ujar Nedine.

Hampir setahun sekolah adat ini berjalan, Nedine mulai berjejaring dengan sekolah adat di daerah lain termasuk di luar negeri yakni Filipina. “Kami ada 10 komunitas di Indonesia. Di Sulawesi Utara hanya ada satu di Desa Koha ini,” ujar dia.

Sementara dalam hubungannya dengan pemerintah, dia mengaku saat ini pemerintah desa dan kecamatan yang awalnya belum tahu kini mulai memberikan dukungan.

“Sedangkan dalam skala nasional, beberapa kali saya juga menghadiri workshop di Kemdikbud untuk membahas keberadaan sekolah adat ini,” tutur Nedine.

Apapun yang nanti bakal jadi kebijakan Kemdikbud, Nedine tak ambil pusing. Dia akan tetap jalan dengan Sekolah Adat Koha. 

“Apalagi, memang spirit pendirian sekolah ini juga sebagai bentuk protes terhadap pendidikan formal yang banyak abai terhadap nilai budaya dan kearifan lokal,” ucap Nedine.

Sumber:http://m.liputan6.com/regional/read/2863237/sekolah-adat-koha-protes-cerdas-pemudi-minahasa?utm_source=Mobile&utm_medium=facebook&utm_campaign=Share_Top

 

Burhan

Dua kursi panjang membentuk sudut 90 derajat di teras Footprint. Sebuah meja bundar berdiri di antaranya. Rumah itu tidak ditempati, melainkan disewakan untuk tempat pelatihan. Pekarangan di depan teras terlihat aneka bunga, di antaranya kamboja, sehingga rumah ini terkesan berhantu.

Saya dan Burhan, demikian nama Burhanuddin dipanggil, duduk di masing-masing kursi. Di meja, dua gelas kopi terhidang. Gadget kami juga letak di atasnya. Laptop tepat di depanku.

Burhan membaca buku Menelusuri Jejak Leluhur. Buku tersebut menceritakan pemuda adat yang kembali ke kampung pascapelatihan pendokumentasian, November 2015. Buku yang bercerita langsung soal kehidupan masyarakat adat, yang berpesan bahwa anggapan miring terhadap mereka perlu diluruskan.

“Bacalah pengantar Jhontoni,” saranku.

Dia pun membaca pengantar dua setengah halaman tersebut. Cerita kami berlangsung setelah ia melahap pengantar itu, Rabu (25/1).

Pemuda Turungan Baji, Sinjai Barat, Sulawesi Selatan merupakan satu dari 12 peserta pelatihan pendokumentasian bertema “Melestarikan Mahakarya Leluhur” di Bogor 23 – 26 Januari. Baginya ketidakadilan harus terus dilawan. Gelora perlawanan harus terus diperluas khususnya kepada sesama pemuda adat.

“Saya gelisah jika ketidakadilan terjadi pada rakyat,” katanya.

Sejak mahasiswa, pria yang hobi membaca itu sudah memiliki kepekaan terhadap gerakan sosial. Ia kerap kali ikut serta aksi demonstrasi mahasiswa di kampus. Sebagai mahasiswa tingkat satu, setidaknya dalam dua dekade terakhir, seseorang langsung ikut berdemonstrasi sudah hal yang tak lazim.

Mahasiswa semester sembilan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Sinjai ini menunjukkan kepekaan sosialnya dengan mengikuti aksi-aksi di kampus dan di daerahnya secara lebih luas. Bukan hanya itu, ia juga menyuarakan kegelisahannya dengan membaca dan menulis.

 

 

Rambut gondrongnya diikat. Lekuk wajahnya tegas, meskipun kulitnya kecoklatan tua. Bicaranya santai, tapi lugas. Ia duduk menyilangkan kakinya, mengenakan baju pantai, dan selalu tersenyum. Senyumnya mengembang menunjukkan persahabatan saat membicaraan perjuangan.

Anak kedua dari tiga bersaudara selalu antusias berdiskusi soal perjuangan. Bertemu dengan BPAN, baginya seperti menemukan keluarga baru dalam urusan melawan ketidakadilan. Seperti istilah di organisasi pemuda adat senusantara itu, pejuang-pejuang adat yang senasib sepenanggungan tidak pernah sendirian. Saling terhubung dalam lingkaran.

Pada 2013 mandor kehutanan melaporkan ayahnya ke kepolisian. Ia disangka merambah hutan jati di hutan produksi terbatas di kebunnya sendiri. Namun dengan alasan kebunnya masuk kawasan hutan negara berdasarkan penunjukan Menteri Kehutanan, ayahnya tak pernah menyangka kalau pohon yang ditanamnya kelak akan menjebloskannya ke penjara.

Bahtiar, ayahnya, dijerat UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) dengan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp 500 Juta. Jika denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama satu bulan. Awal penahanannya sejak 13 Oktober 2014, menjalani penahanan selama 114 hari, lalu Maret 2015 ditangguhkan sembari mengikuti proses persidangan hingga banding. Tapi ia tetap kalah. Akhirnya pada 1 April 2016 Bahtiar kembali ditahan sampai 25 Desember 2016.

 Sejak itu, pemuda adat Turungan makin memantapkan niatnya untuk terus berjuang di garis rakyat. Pilihannya itu didukung sepenuhnya oleh sang bapak.

“Jangan pikirkan aku, meskipun dijerujikan. pertahankan perjuangan,” pesan si ayah.

 

Sesekali pandangannya menatap jauh ke depan. Sejenak ia membayangkan masa tiga tahun lalu. Semangatnya meneruskan perjuangan mendapat tentangan dari masyarakat sekampungnya. Masyarakat meragukan kerja-kerja ayahnya dan diteruskan pula oleh Burhan, oleh sebab si bapak ditangkap. Imej masuk penjara ini sempat membuyarkan keyakinan orang-orang sekampung.

Dalam pelatihan community organizer pada 2014, pengagum Soekarno Presiden I RI, bertemu AMAN. Baginya semboyan AMAN sangat sejalan dengan visi perjuangannya. Semboyan tersebut membuatnya makin kukuh dan tak sekalipun ragu berjuang bersama masyarakat adat.

“Jika negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara,” bunyi semboyan AMAN.

Bagi masyarakat awam di luar masyarakat adat yang terorganisir bersama AMAN, semboyan tersebut kerap dinilai bertentangan dengan negara. Berbeda halnya dengan pemuda satu ini. Ia malah menariknya ke dalam keteguhan perjuangan. Menurutnya semboyan tersebut tidak bernada sinis dan sempit, tapi tegas dan menyampaikan kenyataan.

Untuk melanjutkan pesan si bapak sejak 2014, ia mulai mendiskusikan gerakan anak-anak muda di kampungnya. Ia menyampaikan fakta-fakta persoalan yang terjadi kepada masyarakat di kampungnya. Sialnya bukan dukungan yang datang, ia malah dijauhi. Tanpa putus asa, ia terus mengorganisir pemuda adat. Andi Imran, bersedia menjadi teman senasib sepenanggungannya.

Sejak itu pengorganisasian pemuda adat di Turungan Baji, berada di tangan dua oknum revolusioner ini. Mereka selalu sama. Belakangan mereka menyediakan sekretariat guna menjadi tempat para pemuda adat berdiskusi. Di teras kecil itulah mereka berdialektika, termasuk menjawab pertanyaan pemuda setempat soal: untuk apa berorganisasi, cari kerjalah yang penting!

Saat ini Burhan telah mengorganisir belasan pemuda adat Turungan. Mereka mencetak kaos sebagai penanda bersama dengan membuat simbol BPAN.

“Segeralah bicarakan ke teman-teman tentang pendeklarasian BPAN Daerah Turungan,” kataku.

“Siap bung”.

 

Punya waktu setengah jam tak memuaskan untuk bercerita lebih panjang. Oya terakhir, apa makna wilayah adat bagi bung, tanyaku.

“Tanpa wilayah adat kita tak bisa hidup”.

Kemudian: “Wilayah adat itu nyawa kita. Segalanya”.

Urusan mempertahankan kearifan leluhur, pengetahuan, hukum-hukum adat hanya bisa terjaga jika wilayah masyarakat adat tidak diratakan jadi perkebunan sawit, eukaliptus dan sebagainya. Seiring menjaga iklim, maka wilayah adat adalah satu syarat mutlak yang harus dilestarikan. Laiknya cita-cita Soekarno untuk menjaga hutan, pun impian Burhan sama. Mengakui hak-hak masyarakat adat menjadi kunci.

~Jakob Siringoringo

Ziarah Kultura

oleh Nedine Helena Sulu

Torang ini sapa….? 
Torang ini darimana….?
Kong mo kamana…?

Itu bahasa Manado melayu loh teman-teman… artinya : Kita ini siapa…? Kita ini darimana…? Dan mau kemana…?
Pertanyaan diatas adalah sebuah pertanyaan yang gampang dan mudah bahasanya sehingga cepat saja kita mengerti. Hanya untuk menemukan jawabannya menurutku tidak secepat otakku mengerti maksudnya, tidak seperti yang kubayangkan ! Ya, benar… perlu waktu, butuh perjalanan, harus sabar untuk menemukan jawabannya. Karena ini pertanyaan bukan tentang namaku, alamatku, dan mau jalan-jalan kemana. Tapi ini soal jatidiri, soal identitas sebagai manusia ciptaan-Nya.

Menjelang 13 Januari 2017 

Dua hari yang lalu saya memposting pamflet di fb dan instagram. Isinya begini : Menelusuri jejak leluhur. Tampa : Koha. Jam : 1 siang. Kegiatan : ziarah kultura & permainan tradisional. Pelaksana : BPAN Sulut & Sekolah adat Koha. Pake gambar orang lagi duduk diatas batu dibawah pohon. Pamflet yang singkat padat dan jelas. Dan… Oh ya, pamflet ini dibuat oleh Kalfein Wuisan. Pegiat budaya dari Wuwuk, komunitas yang jauhnya sekitar 40km dari komunitasku (Koha). 
Dia punya talenta, alat, dan niat. Makase banya Kals ! 

Sesaat diposting (saya tak tau kata lain posting) respon cepat skali datang. ketum BPAN : Mantap, semangat dst. Itu pujian dan doa menurutku. Mauliate ketua Jhon, selalu mendukung dan bersama kami. Top !
Selanjutnya disebar-sebarkan oleh kawan-kawan. Terus-terus menyebar dan semakin banyak orang yang tahu kegiatan ini. Ini yang kusuka dari medsos atau sosmed lebih khusus fb. Cukup kuota 1000 kb untuk menyampaikan kebanyak orang kebanyak tempat. Murah toh ? Bukannya pelit tapi kreatif haha…!
Era gadget ini memang mendekatkan yang jauh.

Ziarah kultura 
Jam satu siang teman-teman sudah berkumpul. Kami mulai diskusi kira-kira dimana lagi ada situs, selain situs yang akan kami kunjungi. 
Sambil makan kue natal, minum, duduk di lantai cerita terus mengalir. Satu-satu teman berdatangan. Tanpa menunggu lama kami langsung bergegas menuju Waruga. Waruga adalah kubur orang Minahasa dulu. (Foto, terlampir). Jasad diletakkan dalam posisi duduk. Namun sekitar abad 18 muncul penyakit kolera dan virusnya diduga berasal dari Waruga. Belanda waktu itu kemudian tidak lagi memperbolehkan kubur sistem Waruga. Ditambah lagi Kristen masuk dan penguburan langsung dengan tanah.

 
Waruga yang kami kunjungi kali ini adalah Waruga dari Dotu Dotu (leluhur) kampung kami, Koha. Dotu Rambing (lelaki) dan Doty Manarinsing (perempuan). Mereka katanya pendiri kampung. Dalam otakku : mendirikan rumah aja susah apalagi kampung. Sungguh hebat mereka ini!

Lalu kami mengunjungi Watu Pasela. Batu penanda pendirian kampung. Dimana ada batu itu disitulah kampung itu berdiri. Ada pula Watu Patar (baca: rata) dibatu itu terdapat tanda kaki kiri Siow Kurur. Leluhur Minahasa yang terkenal tinggi dan besar. Siow (9) kurur (lutut).

Selanjutnya kami mengambil foto bersama, saya pun tak mau ketinggalan ambil foto sebagai dokumentasi pribadi.
Saya tertarik dengan kata-kata seorang keluargaku. “Kalau saja zaman dulu sudah ada hardisk dan kamera pasti nenek moyang kita akan mendokumentasikan semua aktivitas mereka.” Hahaha… keren dia!

Untuk itulah kami melakukan ziarah kultura, mengunjungi situs-situs sejarah yang menjadi bukti peradaban Minahasa dulu. Menggali kembali cerita masa lalu (sejarah) yang hampir hilang. Sekolah-sekolah formal yang sekarang menjadi tempat menemukan ilmu dan pengetahuan tidak menyajikan cerita masa lalu. Khususnya cerita masa lalu kampung-kampung kami. Saya orang Minahasa justru akan lebih fasih menceritakan legenda Danau Toba, Tangkuban Perahu dan Candi Borobudur ketimbang Waruga. Anehkan? Ah, kami tidak mau keanehan itu menjadi panjang. Makanya kami berbuat sesuatu: ziarah kultura. Berkunjung, belajar dan berencana.

Kami juga datang sebagai tanda syukur dan penghormatan atas apa yang sudah leluhur-leluhur lakukan. Tapi kegelisahan seketika muncul. Waruga ini berada diarea galian C. Bagaimana nasib mereka nanti ya…?!

Permainan tradisional

Matahari mulai meninggalkan kami. Langit biru berangsur menjadi hitam. Tapi semangat masih menyala diantara kami. Bagaimana tidak? Pisang goreng plus dabu-dabu (sambal) tersaji untuk kami. Nikmat sekali hidup ini kawan!

(…tumbu-tumbu blanga// blanga minya rom// rom cakalele tom tom tom// buka satu dibawah…) ini lirik yang dinyanyikan saat bermain ‘tumbu-tumbu blanga’. Sebuah permainan tradisional yang kami punya, (Foto, terlampir). Mungkin saja ditempatmu ada hanya penyebutannya yang beda. Tapi, saya belum akan membahas dan mengurai apa saja permainan tradisional yang ada. Akan ada waktu lain untuk itu. 

Yang penting dibahas adalah dampak!

Permainan tradisional atau permainan rakyat membawa banyak pelajaran. Termasuk akan dihajar orang tua karena selesai bermain pasti baju penuh noda dan flek yang paling buruk itu sobek. Hahaha… tenang ya ma, anakmu bukan nakal tapi kreatif. Pelajaran lainnya adalah kebersamaan. Kita akan lebih sering terhubung dengan orang lain. Selalu ada interaksi. Sehingga hubungan kita dengan sesama terpupuk lewat permainan. Namun modernisasi memangkas itu. Berbagai macam rupa permainan modern masuk. Apalagi dipermudah dengan menjangkau lewat HP. Permainan modern membatasi kita terhubung dengan orang lain. Kita jadi memiliki dunia sendiri (aku & gadgetku ). Orang-orang jadi sulit berinteraksi dengan yang lainnya. Orangtua tidak marah-marah lagi soal baju kotor tapi marah karena malas belajar, mata akan rusak dan duit belanja beralih slot ke duit pulsa. 
Individualisme! Apakah itu maksud dan tujuan permainan modern? Tapi permainan modern saat ini sangat menarik hati banyak orang. Permainan tradisional hanya sebatas bernostalgia saja.

Tidak pernah ada kemenangan dalam individualisme. Tidak ada kekuatan yang kuat dalam sendiri. Tapi dalam bersama, kekuatan itu kuat. kita akan menang dua kali. Menang atas diri sendiri dan menang atas musuh.

Jeffar, kau….
“Kalo menulis usahakan jangan mengulang kata penghubung yang sama ya…” sambil menengok kami peserta pelatihan pendokumentasian Nov’ 2015 lalu. Sejak itulah saya mengenalnya: Jeffar Lumban Gaol. Rambut gondrong ubanan diikat, kacamata stenga tiang, blue jeans, kaos putih dan laptop. Begitu kira-kira sosoknya.

Ini nostalgia dan kenangan teman-teman. Karena dia sudah pergi menghadap Tuhannya. Dia sudah mengakhiri pertandingannya dengan baik didunia fana ini. Padahal saya belum melunaskan hutang sama beliau. Bukan hutang duit. Tapi tulisan singkatku yang sempat menjadi perdebatan waktu itu ‘Petani cap tikus’. Setiap ditagih saya menjawab : iya bang… saya akan buat tapi butuh waktu karena itu harus dibuat ‘benar’. Saya tidak mau menulis hanya untuk prestasi dan prestise. Kita sedang memutuskan rantai panjang teks pembodohan sejarah toh hehehe… “yaa.. ditunggu ya” sahutnya, sambil melinting.

Setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah.
Bang Jeffar kau sudah menjadi guruku… ini tulisanku yang lugu kupersembahkan untukmu. Semoga ini bermanfaat bagi orang lain. Setidaknya mampu menginspirasi. Oh ya bang aku suka status facebookmu tahun 2015 itu : “Ya Tuhan.. semoga saya tidak bertemu kendaraan yang nyalakan lampu sein kanan lalu belok kiri.” ^_^

Selamat jalan bang Jeffar…!
Penyair Minahasa bilang begini : “Inilah kehidupan. Yang dikejar akan ditinggalkan dan yang diraih akan dilepaskan.” (Altje W)

Guru sudah pergi. Ilmu telah ditinggalkan. Mari berjalan bersama kawan. Ayo kita telusur siapa dan darimana kita, dan akan kemana. 
Jika ini jalan, ini adalah jalan sunyi, maka perlu keberanian untuk tetap berjalan. Jika ini arus, kita sedang melawan arus yang deras, butuh komitmen kuat agar tidak hanyut oleh arus. Jika ini peperangan, kita tidak lagi berperang melawan senjata laras panjang tapi kita sedang melawan cara berpikir. Salam!

IMG_4773

IMG_4772

IMG_4771

 

IMG_4768

BPAN Persatukan Pemuda Adat Moi Maya

Dewan pemuda adat region papua gelar kegiatan konsolidasi pembentukan kordinator pemuda-pemudi adat Moi Maya tingkat distrik Salawati utara, Salawati 26 Desember tahun lalu. Dalam pembentukan tersebut banyak pemangku adat ikut terlibat dalam diskusi bersama para generasi muda adat Moi Maya.

Semangat konsolidasi pembentukan ini dilandasi dengan melihat situasi sosial, ekonomi, dan politik masyarakat dan pemuda adat. Bertalian erat dengan itu, konsolidasi ini juga beralaskan visi BPAN yakni Pemuda Adat Bangkit Bersatu Bergerak Mengurus Wilayah Adat.

Dewan pemuda adat nusantara region Papua—penulis sendiri—mengatakan bahwa Barisan Pemuda Adat Nusatara (BPAN) adalah organisasi yang mewadahi perjuangan bagi gerakan pemuda adat se-nusantara. Saat ini BPAN tersebar di tujuh region: Papua, Kepulauan Maluku, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera; serta telah berkibar di 17 wilayah: Tano Batak, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Baralosa NTB, Tana Luwu, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Maluku Utara.

Secara umum, kegiatan ini bertujuan untuk membangkitkan ketertarikan pemuda-pemudi adat Moi Maya tingkat distrik Salawati utara untuk  kembali ke kampung mengurus wilayah adat, dalam rangka mempersiapkan pemimpin-pemimpin masyarakat adat  pada masa mendatang.

Tujuan lain: meningkatkan pemahaman pemuda-pemudi adat Moi Maya tentang situasi dan gerakan masyarakat adat, membangkitkan ketertarikan pemuda-pemudi adat untuk mengurus wilayah adatnya, membangun kepengurusan organisasi pemuda adat di tingkat kampung, daerah, dan wilayah;  membangkitkan rasa senasib sepenanggungan atau solidaritas di antara pemuda-pemudi adat di daerah kepulauwan Salawati kecil (Moi Maya).

Laurens Dumur, ketua adat kampung Samate, sangat responsif pada kegiatan pembentukan kordinator muda distrik Salawati utara. “Kami selaku orang tua mengharapkan kepada kalian sebagai generasi penerus perjuangan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusatara agar lambat atau cepat harus membuat kepengurusan di tangkat distrik dan kampung suku besar  Moi Maya Kepulauan Raja Ampat,” katanya di hadapan para pemuda adat.

Dengan penuh keyakinan Laurens Dumur mengungkapkan bahwa dirinya berterima kasih  karena kepada anak-anak muda yang sudah menceritatakan dengan jelas bahwa AMAN adalah organisasi kultur yang kemudian hadir di tengah-tengah masyarakat adat nusantara secara umum dan lebih khusus bagi suku besar Moi Maya Kepulauan Raja Ampat.

Beliau pun menceritakan kembali sejarah perjalanan mereka: ada beberapa marga-marga yang dulu sudah ada di kepulauan Salawati ini, tapi sekarang satu marga sudah punah, yaitu marga Buklis. Sedangkan yang masih ada adalah marga Mobalen Malayabuk, Moicu, Demur, Klagilik, Parajau Klasin Moi Filik dan marga  Klapai. Marga-marga ini di bagi juga berdasarkan suku besar Parajau.

Dalam kenyataannya perkembangan di pulau Salawati ini sudah banyak perubahan yang terjadi. Perubahan datang dari ‘luar’ masuk lewat jalur pemeritah, misalnya pembangunan secara fisik. Tampak saat ini seperti transmigarasi dan ilegal logging oleh PT. Hanurata. “Proyek-proyek ini turun kemudian menghacurkan ruang-ruang hidup kami  suku Maya yang tinggal di Kepulauan Salawati,” kenang Laurens.

Beliau menuturkan bahwa perusahaan dan pemerintah datang membodohi pemilik hak ulayat mereka hanya memperkaya dirinya. Sementara masyarakat adat hidup dalam tangisan. Harapan kami selaku orang tua, katanya lebih lanjut, kepada anak-anak  muda Moi agar terlibat dalam kepengurusan AMAN. Selain itu pemuda adat tolong juga membantu orang tua untuk sama-sama memperjuangkan dan terus melindungi pulau Salawati dari rencana tata ruang pemerintah yang turun dan menghancurkan ruang hidup kita, lanjutnya.

img_20161223_223458

img_20161223_223439

img_20161223_184744

** Melianus “Achel” Ulimpa

 

Jambore Wilayah II BPAN Kalimantan Barat

Pontianak (21/12)—Jambore Wilayah II BPAN Kalimantan Barat mengantarkan Paulus Ade Sukma Yadi sebagai ketua terpilih untuk periode 2017-2020, Senin 19/12/2016. Paulus dipilih secara musyawarah mufakat oleh pengurus BPAN se-Kalbar dengan catatan waktu kurang dari lima menit. Benar-benar musyawarah mufakat diterapkan oleh pemuda-pemuda adat.

“Saya mau BPAN Kalbar ini melangkah lebih maju. Teman-teman yang menyaksikan dan sudah menyepakati saya sebagai ketua yang baru, saya harapkan kita bersatu padu untuk menggerakkan organisasi ini,” kata Paulus Ade Sukma Yadi atau yang biasa disapa Ade itu sebagai sambutannya setelah dikukuhkan menjadi ketua.

Ia mengajak seluruh pemuda yang hadir, kebanyakan mahasiswa, untuk bisa terlibat dan menjadi bagian dari BPAN Kalbar. Di sisi lain peserta yang hadir, mayoritas belum anggota BPAN, juga sangat sepakat untuk bergabung dengan BPAN. “Karena perjuangan kita sebenarnya sama,” Ade meyakinkan.

Jambore ini digelar sebagaimana biasa untuk melanjutkan regenerasi kepengurusan di BPAN Wilayah. Khusus di Kalimantan Barat, Jambore dipercepat dari biasanya. 

Salah satu rancangan aktivitas yang akan diadakan pengurus baru BPAN Kallbar adalah Kemah Pemuda Adat. Rencana kemah ini sesuai dengan permintaan calon anggota BPAN yang hadir untuk mengakomodir kebutuhan akan pemahaman BPAN lebih mendalam. Ide ini juga mendapat dukungan dari Pengurus Nasional sendiri.

Jambore ini dihadiri oleh pengurus wilayah, sejumlah pemuda adat sekaligus calon anggota. Selain itu, hadir pula mantan Ketua Umum BPAN Simon Pabaras yang juga berasal dari Kalimantan Barat.

whatsapp-image-2016-12-20-at-9-13-51-pm

whatsapp-image-2016-12-20-at-9-13-49-pm

whatsapp-image-2016-12-20-at-9-13-51-pm-1

[Jakob Siringoringo]

Sekolah Adat Percontohan

Sepuluh Sekolah Adat yang terafiliasi dengan AMAN akan menjadi model percontohan untuk program Pendidikan Layanan Khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kesepuluh Sekolah Adat tersebut adalah Ruma Belajar Sianjur Mulamula, Ruma Parguruan, Sekolah Pasawahan, Sekolah Adat Samabue, Sekolah Adat Punan Sumeriot, Sekolah Adat Koha, Sekolah Adat Bowonglangi, Ruma Belajar Tobasa, Sokola Rimba, Sekolah Adat Bayan. Hal ini menjadi salah satu keputusan dalam Diskusi Terpumpun tentang Pendidikan Masyarakat Adat di Direktorat Kepercayaan terhadap TYME dan Tradisi, Rabu (7/12).

Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid menyatakan dengan adanya sepuluh sekolah adat ini, pekerjaan bisa langsung diimplementasikan di lapangan. Dengan berjalannya program ini nantinya di sepuluh sekolah adat tersebut, akan lebih mudah membuat sebuah pedoman standar bagi penyelenggaraan Pendidikan Layanan Khusus, lebih khusus lagi bagi sekolah adat.

Menurut Ketua Umum BPAN Jhontoni Tarihoran, hal ini merupakan komitmen dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas tindak lanjut dari pembicaraan tentang pentingnya pendidikan adat saat perayaan HIMAS, 9 Agustus di Museum Nasional Indonesia. Saat itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyambut baik dan berkomitmen untuk mendukung pendidikan adat.

“Intinya Dirjen Kebudayaan sepakat dengan pendidikan adat dan mendukungnya sesuai kewenangannya. Terlebih lagi ada aksi menetapkan pendidikan adat yang sudah berjalan dijadikan model dari implementasi Permendikbud 72/2013 dengan membentuk tim persiapan yang melibatkan berbagai pihak termasuk pelaku pendidikan adat itu sendiri,” tuturnya.

“Dan ini wajib kita dukung dalam pelaksanaannya karena ini merupakan tanggung jawab masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama,” tambah Jhontoni.

 

img_5684

img_5685

img_5664

 

[Jakob Siringoringo]

Diskusi Terpumpun Sekolah Adat

Direktorat Jenderal Kepercayaan terhadap TYME dan Tradisi, Kemendikbud menggelar Forum Diskusi Terpumpun tentang Pelayanan Pendidikan Masyarakat Adat, Rabu (7/12) di Jakarta. Diskusi ini bertujuan untuk menuangkan gagasan sekolah adat yang sudah ada ke dalam administrasi kependidikan. Pengadministrasian ini untuk mewujudnyatakan implementasi Permendikbud 72/2013 tentang penyelenggaraan Pendidikan Layanan Khusus (PLK).

Di awal pembahasan, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid mengajak peserta diskusi untuk menyepakati pemahaman bersama soal landasan pelaksanaan pendidikan adat bagi pemerintah dan masyarakat adat. Landasan dimaksud, yang selanjutnya disepakati forum diskusi tetap relevan alias belum perlu direvisi, adalah Permendikbud  RI No. 72 Tahun 2013. Dengan adanya peraturan yang menjadi payung hukum ini, maka penyesuaian antara inisiatif pendidikan adat yang sudah dimulai masyarakat adat harus dilakukan. Dengan demikian, tidak akan menyalahi aturan yang ada dan semangat diterapkannya pendidikan adat 2017 nanti. “Jadi, sepakat Permendikbud ini menjadi landasan diskusi kita ya,” ujarnya.

Pendidikan—merujuk kepada kearifan lokal atau pengetahuan tradisional—Masyarakat Adat di Indonesia sesungguhnya sangat heterogen. Dengan demikian diperlukan sebuah abstraksi untuk memastikan sebuah standar untuk mengakomodir semua pendidikan adat yang ada. Hal ini seperti disampaikan Sekjen AMAN Abdon Nababan, “Seperti apa unit pendidikan yang pas untuk Masyarakat Adat yang menghadapi krimininalisasi berlapis-lapis? Itu yang perlu kita cari tahu.”

Lebih lanjut, menurutnya, pendidikan yang ada di Masyarakat Adat adalah pendidikan dari, tentang dan terinspirasi dari wilayah adatnya. Prinsipnya semua orang adalah guru. Dan, guru yang dibutuhkan adalah yang memiliki mentalitas sebagai fasilitator, bukan yang mengajarkan ilmu pergi. Karena itu pendidikan khusus bukan hanya perihal terisolasi, tertinggal dan beragam bentuk fisik geografis lainnya.

“Kita sadar penuh bahwa sekolah khusus bukan hanya soal accessable (dapat dijangkau), melainkan juga kesesuaian,” tegas Hilmar Farid yang biasa disapa bang Fai itu.

Diskusi terpumpun ini menghasilkan kerja-kerja konkret. Setelah membentuk tim; dan tim tersebut akan bertemu dalam Desember ini, tahun depan akan diadakan lokakarya tentang Pendidikan Layanan Khusus. Lokakarya ini difasilitasi kembali oleh Direktorat Kepercayaan terhadap TYME dan Tradisi. Rencananya lokakarya ini akan diperluas dengan mengundang sepuluh sekolah adat yang sudah berafiliasi saat ini dengan AMAN. Lebih lanjut, pemerintah daerah kabupaten tempat kesepuluh sekolah adat ini berada akan diundang dan dilibatkan. Sepuluh sekolah adat ini disepakati menjadi pilot project (model percontohan) yang akan dimulai tahun depan.

Dalam diskusi terpumpun ini hadir perwakilan organisasi antara lain: AMAN, BPAN, Sokola Institute, LIPI, Kemendikbud.

 

img_5661

img_5669

img_5672

img_5675

 

[Jakob Siringoringo]

Rencana Kehidupan Talang Mamak

Talang Sungai Limau (Sabtu 26/11) – BPAN Daerah Inhu mempelajari tujuh program prioritas: pendidikan, ekonomi, hutan, budaya, hukum adat, kesehatan dan komunikasi. Ketujuh program tersebut kemudian diperinci lagi sesuai topiknya masing-masing. Dari setiap topik yang telah dipersempit itu dirancang kegiatan-kegiatan konkret yang akan dikerjakan pemuda-pemudi bersama para tetua adat. Kegiatan-kegiatan konkret tersebut diletakkan dalam tiga tahapan: jangka pendek, menengah dan panjang.

Demikian salah satu rumusan kerja hasil pertemuan BPAN Inhu bersama dengan tetua adat serta dengan LifeMosaic dan dua narasumber yang ahli di bidangnya: Jeremias dan Liliana. Kedua narasumber merupakan tokoh masyarakat adat Misak di Kolombia, Amerika Latin. Mereka datang ke Indonesia untuk berbagi pengalaman yang telah mereka rencanakan, kerjakan dan tunjukkan atau buktikan bahwa rencana kehidupan mereka berhasil, tidak seperti rencana pembangunan ala pemerintah negerinya (juga di Indonesia).

Selain komunitas adat Talang Mamak di Indragiri Hulu, Riau, mereka juga akan mengunjungi komunitas adat Dayak Iban di Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. November-Desember ini merupakan kunjungan kedua mereka ke Indonesia. Mereka tengah mem-viral-kan pengalaman baru terhadap masyarakat adat di Indonesia yaitu Plan de Vida atau Rencana Kehidupan.

Dari hasil yang telah dibahas dirincikan setiap topik-topik pembahasan dari masa lalu, masa kini, dan juga masa depan (impian). Setelah semua jawaban didapat, selanjutnya dicari prinsip-prinsip dasar atau pondasi yang melandasi semuanya supaya dapat menjalankan rencana kehidupan di Talang Mamak.

Untuk mencari dan menemukan prinsip-prinsip dasar tersebut maka sangat diperlukan dukungan dan keterlibatan penuh dari Batin dan tetua adat. Karena itu, dalam pertemuan yang tak biasa ini, Batin dan tetua adat Talang Mamak terlibat sepenuhnya. Batin dan tetua adatlah yang menjadi sumber pengalaman atau pencarian akan akar, pondasi maupun batang untuk dijadikan prinsip dalam rencana kehidupan mereka.

Terdapat filosofi dalam kerangka kerja mencari dan menemukan prinsip dasar tadi. Inilah buktinya: akar dari pohon kehidupan adalah ingatan. Pondasi adalah sejarah; dan batang adalah wilayah adat, lembaga adat, badulat, masyarakat adat, jati diri, penentuan nasib sendiri.

Setelah menemukan prinsip dasar yang sarat filosofi itulah mereka kemudian secara musyawarah mulai bergegas menyusun rencana kehidupan masyarakat adat Talang Mamak. Bermulalah dari sini rencana kehidupan Talang Mamak yang menjadi tonggak perubahan penting dalam upaya mendesak agar masyarakat adat ini tetap ada dan berkelanjutan. Momentum ini akan sangat berharga ke depan, bukan saja dalam melawan ancaman kepunahan, melainkan juga menjadi inspirasi bagi komunitas adat lainnya di Indonesia.

 

whatsapp-image-2016-11-26-at-7-40-40-pm

whatsapp-image-2016-11-26-at-7-41-13-pm

whatsapp-image-2016-11-26-at-7-42-16-pm

 

whatsapp-image-2016-11-26-at-7-42-48-pm

 

[Ratnawati]

BPAN Suarakan Perjuangan Masyarakat Adat di COP22

Marakesh (15/11) – Masalah yang dialami oleh Masyarakat Adat di seluruh dunia pada dasarnya sama. Sejak dulu berjuang, Masyarakat Adat tidak hanya mementingkan hak-haknya, melainkan juga demi masa depan planet ini. Artinya untuk masa depan bumi–yang secara spesifik biasa disebut oleh masyarakat adat “untuk masa depan generasi penerus.” Karena itu semua orang sejatinya setuju kalau diajak melawan perusahaan/lembaga negara yang telah merampas tanah/hutan masyarakat adat.

Demikian pernyataan pembuka dari Barisan Pemuda Adat Nusantara oleh Jakob Siringoringo saat menjadi salah satu panelis dalam panel bertajuk “Launching of the Global Campaign for Land Rights of Indigenous Peoples” di Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang perubahan iklim (COP22) di Marakesh, Maroko, 9 November lalu.

Selain itu terdapat lima isu penting yang disampaikan dalam panel ini sebagai pernyataan resmi AMAN. Kelima isu tersebut adalah sebagai berikut ini.

  1. Kontribusi dan solusi Masyarakat Adat bagi perubahan iklim adalah nyata.
  2. Menegaskan kembali bahwa perubahan iklim merupakan isu Hak Asasi Manusia. Karena itu, setiap solusi untuk perubahan iklim harus menghargai dan melindungi HAM dan hak-hak Masyarakat Adat.
  3. Masyarakat Adat dapat berkontribusi dalam penyusunan aturan mengenai Nationally Determined Contribution (NDC) atau tanggung jawab pemerintah. Masyarakat Adat bisa terlibat melalui pengetahuan tradisional maupun aksi-aksi kecil/lokal. Masyarakat Adat harus dan akan terlibat dalam monitoring dan pelaporan implementasi NDC. Pemerintah, juga, sejatinya mengidentifikasi dan mendokumentasikan kontribusi Masyarakat Adat di tingkat lokal.
  4. Hentikan kriminalisasi, kekerasan dan pembunuhan terhadap pimpinan Masyarakat Adat yang melindungi tanah dan hutan. Segala usaha untuk melawan perubahan iklim tidak harus dengan mengedepankan kekerasan atas hak-hak Masyarakat Adat.
  5. Pendana bagi Masyarakat Adat. Pendana yang diperlukan adalah yang mampu memberikan kontribusi secara efektif terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan mendukung upaya-upaya Masyarakat Adat. Lebih spesifik lagi jendela pendanaan yang ditujukan kepada Masyarakat Adat akan membantu memberikan kontribusi dan pengembangan aksi-aksi lokal yang lebih banyak lagi.

Panel ini menjadi saat pembukaan simbol panggilan terhadap masyarakat dunia melalui tambor/drum sebagai bentuk dukungan bagi Masyarakat Adat dalam melawan perubahan iklim. Panggilan Drum Global ini menjadi wadah untuk mendapatkan dukungan dari banyak orang di dunia untuk mendesak negara-negara di dunia khususnya yang masih menomorduakan Masyarakat Adat, padahal punya andil sangat besar dalam penyelematan lingkungan.

Panelis yang juga hadir dalam panel ini adalah Masyarakat Adat dan lokal dari Amerika Latin, khususnya yang tergabung dalam Alianza Mesoamericana de Pueblos y Bosques (AMPB).

Di akhir panel, the Global Drums Call Action pun ditabuh sebagai penanda dilaunchingnya bentuk dukungan terhadap Masyarakat Adat. Drum yang menjadi simbol tersebut kemudian ditandatangani oleh para pemimpin Masyarakat Adat seluruh dunia.

 

launching-the-global-drums-call-action
Launching the Global Drums Call Action

 

aksi
Modesta Wisa, DePAN Region Kalimantan turut dalam aksi the Global Drums Call Action

 

tanda-tangan-drum
Menandatangani drum

 

[Media BPAN]

Tradisi Nasi Bambu Sempat Tertunda

Jakarta (02/11/2016) – Masyarakat Adat di Indonesia belum sepenuhnya dihormati dan diakui sebagai warga negara yang punya hak dan kewajiban. Sebagai contoh apa yang dialami oleh Masyarakat Adat Bakalewang ketika hendak mengadakan acara tradisi nasi bambu di wilayah adatnya di Jati Timung, Dusun Kayu Madu, Desa Labuhan Badas, Kecamatan Labuhan Badas, Kabupaten Sumbawa Besar, 6 Agustus silam.

negosiasi-dengan-tni
TNI mendengarkan pernyataan Masyarakat Adat Bakalewang

Ketika itu aparat TNI melarang semua warga untuk melanjutkan tradisi nasi bambu. Juru bicara aparat gabungan dan Kodim 1607 Sumbawa berpesan kepada warga agar upacara membakar bambu tersebut segera dihentikan. ”Acara ini tidak boleh dilanjutkan, karena nanti hutan  bisa terbakar. Sebaiknya semua bahan-bahan ini dimasak di rumah masing-masing atau di kampungnya saja,” kata salah seorang aparat TNI.

Kemudian aparat gabungan itu mengangkut semua bahan dan peralatan upacara nasi bambu dengan  mobil patroli, lalu dibawa pulang ke kampung Masyarakat Adat Bakalewang. Kemudian aparat TNI meminta tanda tangan warga yang mengikuti acara tersebut.

Selain TNI, hadir pula secara bersamaan pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Habibi dari KPH mempertanyakan hutan adat milik Masyarakat Adat Bakalewang. ”Ini hutan negara dan bukan milik Masyarakat Adat. Mana buktinya kalau hutan ini milik masyarakat adat,” tanya Habibi dengan angkuh.

Ketua Adat Bakalewang Usaman menegaskan bahwa hutan tersebut merupakan hutan milik Masyarakat Adat Bakalewang. Hutan yang mereka warisi turun-temurun dari nenek moyang.Bapak gak lihat kalau di atas itu bekas ladang warga dan itu ladang mereka, ladang peninggalan orang tuanya semua. Apakah bapak sudah melihatnya sampai ke atas sana?”  tanyanya tegas menunjuk petugas KPH.

Aparat Kodim 1607 dan KPH tidak bisa menjawab bantahan Ketua Adat Bakalewang. Selanjutnya aparat TNI dan KPH mengembalikan semua perlengkapan acara Tradisi Nasi Bambu ke lokasi acara yang ditentukan semula.  Masyarakat Adat Bakalewang pun meneruskan acara tradisi warisan leluhur Bakalewang tersebut.

Tradisi nasi bambu ialah sebuah tradisi turun-temurun Masyarakat Adat Bakalewang. Tradisi yang diadakan sekali setahun ini merupakan sebentuk ucapan syukur kepada TYME atas hasil panen yang mereka peroleh. Dalam tradisi yang dirayakan bersama ini, Masyarakat Adat Bakalewang melalui tokoh-tokoh adatnya mengadakan ritual untuk meminta restu dari Tuhan dan leluhur.

Awaluddin

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish