RUU Masyarakat Adat Tak Berbelit

RUU Masyarakat Adat merupakan Rancangan Undang-Undang yang memang disiapkan oleh masyarakat adat untuk menjadi satu payung hukum tersendiri sebagai satu cara untuk mempercepat kesejahteraan sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945. RUU ini dari sisi substansi akan menjadi UU yang paling ringkas, tidak berbelit-belit seperti yang lain.

Hal itu disampaikan Direktur Advokasi Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN) Erasmus Cahyadi ketika AMAN melakukan audiensi ke Fraksi Partai Demokrat, Rabu (26/10) di Senayan, Jakarta. RUU ini hanya terdiri dari 14 bab dan 48 pasal. Kemudian terdapat dua bab kunci yaitu mengenai Tata Cara Pendaftaran Masyarakat Adat dan terkait Resolusi Konflik.

Dalam audiensi yang diterima langsung oleh Edhie Baskoro Yudhoyono, M. Sc. alias Ibas itu, Eras menyampaikan beberapa poin penting terkait perlunya RUU ini disahkan secepatnya. Salah satu poin penting yang disampaikan yakni bahwa UU Masyarakat Adat ini nantinya perlu memerintahkan UU sektoral lain agar menyesuaikan diri terhadap UU ini.

“Pengalaman di lapangan, kami sudah mendorong proses Perda Masyarakat Adat di lima provinsi dan 55 kabupaten, namun kerap menemui kesulitan. Hal ini dikarenakan kebijakan nasional yang berbelit-belit,” ujarnya.

Sebenarnya di negara hukum ini, ada banyak UU atau peraturan yang sifatnya multisektor, namun tak satu pun yang secara khusus dan tegas melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat adat.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama Yance Arizona dari Epistema Institute menyebutkan bahwa hingga saat ini belum ada partai politik yang serius memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Senada dengan Yance, Deputi II PB AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan bahwa proses politik di DPR RI belum memastikan RUU Masyarakat Adat sebagai bahasan yang urgen.

Sejak 2014, AMAN telah mengajukan draft Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat, baik kepada DPR maupun Presiden RI. Namun masih gagal masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Setahun berselang (2015), AMAN lanjut mendorong RUU Masyarakat Adat untuk kemudian ditetapkan menjadi UU Masyarakat Adat. Kali ini, DPR dan pemerintah tetap setia untuk mengulur-ulur waktu. Tak berhenti sampai di situ, organisasi masyarakat adat itu kembali mendesak DPR RI agar memasukkan RUU Masyarakat Adat masuk dalam Prolegnas Prioritas 2016. Miris, DPR masih seperti biasa tuli mendengar aspirasi rakyat. Di sisi lain, AMAN mencoba masuk melalui jalur eksekutif. Hasilnya: nihil.

Perjuangan meski panjang, tapi sifatnya tetap sama: pantang mundur apalagi padam. Masyarakat adat melalui AMAN terus mendesak DPR dan Pemerintah RI untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Salah satunya lewat pendekatan persuasif kepada fraksi-fraksi di DPR RI.

Di akhir audiensi, Ibas mengutarakan akan tetap konsisten mendukung RUU Masyarakat Adat agar segera disahkan.

[Jakob Siringoringo]

Konsolidasi Masyarakat Adat Moi Salkma dan Rencana Kemah Pemuda Adat

Masyarakat adat Moi Salkma Kampung Wilti, Distrik Wemak, menyambut baik kegiatan pemutaran film yang digelar AMAN Sorong Raya. Film yang ditonton yakni terkait taktik perusahaan terhadap masyarakat adat. Ketika film ditayangkan banyak masyarakat mulai menceritakan pengalaman yang mereka rasakan.

Dengan penuh rasa syukur, Ketua Adat Moi Klabra Selfianus asal kampung Wilti mengatakan  sangat berterima kasih kepada AMAN Sorong Raya dan pemuda adat Moi telah datang dan melakukan pemutaran film tentang taktik perusahaan. “Film tersebut membuka gambaran kepada kami orang-orang tua yang ada di distrik Klawak ini, agar kami tetap menjaga hutan demi anak cucu kami,” ujar Selfianus di Sorong (24/10).

tonton-film-bersama-warga-kampung-kamlin

Menonton film bersama warga Kampung Kamlin

Di sisi lain, Ketua AMAN Sorong Raya Kostantinus Magablo di awal kegiatan pemutaran film juga mengatakan rasa terima kasihnya kepada masyarakat adat Moi Salkma dan Moi Klabra, asal kampung Kamlin Distrik Wemak karena telah menyambut baik kegiatan ini.

“Bapak-mama, kalian harus memberikan pemahaman kepada adik-adik kita yang mulai besar ini; kepada Victor, Metus dan adik-adik lain terkait dengan batas-batas  wilayah  adat agar setiap marga-marga mulai tahu tentang wilayah adatnya,” katanya.

Kostan Magablo berharap jangan sampai kebersamaan di kampung Kamlin hilang. Kalau sampai hilang, maka perusahaan akan leluasa mengadu domba masyarakat dan akhirnya tanah adat akan habis terjual.

“Kalau sampai hilang maka perusahaan akan memakai orang-orang kampung ini, yang memang bapak kalian sudah tidak suka dia. Dia akan mengatasnamakan masyarakat di sini untuk menandatangani surat pelepasan lahan. Cara kedua (membenturkan peta dari pemerintah sebagai bukti—red) kalau kita lihat di peta tadi, pemerintah sudah membuat titik yang menunjukkan bahwa di daerah ini sudah tidak ada manusia. Hanya ada hutan dan hutan itu siap dijadikan apa saja menurut pemerintah,” tambahnya.

Peta menjadi salah satu senjata untuk melawan klaim pemerintah atas tanah adat. Dengan adanya peta, masyarakat adat memiliki kelengkapan bukti kepemilikan. Wilayah adat yang sudah diwariskan oleh leluhur sejak dahulu kala tidak boleh dikasih (baca: dijual atau diserahkan) kepada siapa pun. Apalagi dirampas.

“Kita bisa melawan apabila kita punya peta wilayah adat. Jika pemerintah datang dengan programnya,  kita bisa kasih tunjuk kepada pemerintah  bahwa kita juga punya peta wilayah adat dan wilayah kita ini tidak bisa kasih kepada siapa pun. Dalam arti bukan hanya pemerintah yang punya peta, tetapi kita masyarakat adat juga punya peta wilayah adat,” kata Ketua AMAN Sorong yang biasa disapa “Kostan” itu lebih lanjut.

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35 tahun 2012  (MK 35) merupakan salah satu landasan hukum yang menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. Salah satu tindak lanjut keputusan itu yaitu masyarakat adat harus memiliki peta wilayah adat, sehingga  masyarakat adat kuat dan  bisa mempertahankan wilayah adatnya. 

Terbaru, sesuai dengan Putusan MK 35 itu, AMAN Sorong Raya memasukkan lagi Rancangan peraturan daerah (Ranperda) ke DPRD Kabupaten Sorong. Ranperda ini diharapkan bisa disahkan dalam tahun ini atau di tahun depan. Kalau Perda itu sudah disahkan maka setiap penjualan tanah atau pelepasan lahan harus diputuskan dalam sidang adat.

diskusi-bersama-pemuda-adat-moi-klabra-kampung-wilti

Diskusi bersama pemuda adat Moi Klabra Kampung Wilti

Dewan adat

Menurut Kostan Magablo yang sudah jalan mengelilingi daerah Moi, dia belum melihat konsep dewan adat yang baik seperti dewan adat Moi Klabra asal distrik Klawat. Mereka memiliki kekompakan yang sangat luar biasa. Pembangunan yang diarahkan oleh pemerintah saja, misalnya mereka berkomitmen untuk tidak menebang sebatang pohon pun hanya demi “pembangunan”. Malah mereka beli kayu dari kota dan Klamono.

“Kalau mau dilihat secara jelas dari hasil diskusi kami dengan bapak ketua dewan adat asal  distrik Klawak, mereka punya sistem perencanaan dewan adat yang lebih baik,” lanjut Kostan.  

Dia berharap kalau dewan adat kampung Kamlin ini terbentuk, maka tidak salah dilakukan diskusi dengan dewan adat di tingkat Distrik Klawak dan LMA Malamoi untuk mencari sebuah konsep baku.

Kemah pemuda adat

Sementara itu, di saat yang sama, Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara  Jhontoni Tarihoran juga menyampaikan beberapa hal terkait dengan persiapan kemah pemuda-pemudi  adat Moi di wilayah Sorong Raya. “Jadi seperti yang sudah disampaikan Melianus Ulimpa (DePAN Region Papua) film pergerakan pemuda adat ini sebenarnya mau menyampaikan agar perjuangan ini terus berlanjut. Bapak-mama ke depan ini kan sudah meningalkan kami. Untuk itulah perlu kami tahu tentang sejarah tentang wilayah adat sehingga bisa terus diwariskan sampai ke generasi-generasi selanjutnya,” ungkapnya.

Peran pemuda dalam kerja-kerja perjuangan ataupun pengakuan ha-hak kita sebagai masyarakat adat untuk memperjuangkan wilayah adat memang sangat penting. Misalnya dalam rencana pemetaan. Yang mendukung pemetaan ini juga pemuda harus berperan.

“Oleh karena itu, bapak-mama silakan dorong yang muda-muda juga untuk boleh bersama-sama mempertahankan hak-hak kita. Kami akan belajar bersama bapak-mama tentang sejarah, demi nilai-nilai hidup di wilayah adat kita ini. Kami punya rencana untuk mempertemukan pemuda-pemudi yang berumur dari 17-35 tahun sehingga pertemuan itu bisa sama-sama memikirkan apa yang sedang terjadi. Apa tantangan ke depan yang mungkin dihadapi dan kemudian apa yang harus dilakukan untuk menghadapinya,” jelas Jhontoni.

Dalam waktu yang tidak lama lagi, BPAN akan mengadakan Kemah Pemuda Adat di di Kampung Kamlin. Kemah ini akan menjadi ajang untuk belajar tentang sejarah komunitas, krisis yang terjadi di wilayah adat dan mengenai mimpi masa depan pemuda adat akan wilayah adatnya. Jadi selain berkemah menikmati kekayaan alam, pemuda adat juga nantinya akan saling belajar dan merencanakan masa depan demi kelestarian wilayah adat serta keterjagaannya sampai masa yang jauh ke depan.

“Jadi bapak-mama yang punya anak pemuda, baik laki-laki maupun perempuan yang sudah menikah maupun yang belum menikah bisa bersama kami mengikuti kemah pemuda adat di sini (kampung Kamlin) mulai 1-5 November 2016 mendatang. Kami juga mengharapkan dukungan dari bapak-mama dan semua warga di sini, sehingga teman-teman pemuda ini mulai membangun mimpinya tentang wilayah adatnya yang baik, yang bisa  memberikan kita hidup sehingga wilayah ini bisa kita wariskan untuk generasi mendatang. Akhir kata Generasi Muda Adat Moi Bangkit Bersatu Bergerak Mengurus Wilayah Adat,” tegas Ketua Umum II BPAN tersebut menutup.

pengisian-formulir-bpan-oleh-pemuda-adat-moi-salkma

Pengisian formulir BPAN oleh pemuda adat Moi Salkma

 

[Melianus “Achel” Ulimpa]

 

Ini Pidato Aleta Baun yang Getarkan Forum Kebudayaan Dunia

 

DenpasarWorld Culture Forum 2016 di Nusa Dua Bali Convention Center dibuat bergetar oleh pidato Aleta Baun. Berikut pidato lengkapnya:

Saya Aleta Baun. Ibu dari tiga anak. Perempuan adat Mollo di Kabupaten Timor Tengah Selatan, propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Mollo merupakan salah satu kawasan paling kering di Indonesia. Makanan pokok kami Jagung. Sebagian besar kami bertani. Menanam jagung, ubi, sorgum, padi, sayuran, beternak– kuda, babi, sapi dan ayam.

Nenek moyang kami mengajarkan hidup bersama alam, karena tubuh alam bagaikan tubuh manusia.

Fatu, nasi, noel, afu amsan a’fatif neu monit mansian. Artinya; batu, hutan, air dan tanah bagai tubuh manusia.

Tapi sejak lama, alam kami—lahan, hutan, sumber air, batu—mendapatkan ancaman sehingga mempengaruhi kehidupan kami.

Kebun dan hutan adat kami banyak diubah menjadi hutan milik negara. Akibatnya banyak mata air yang dangkal dan hilang. Banyak ternak tak bisa lagi merumput dan minum.  Pohon-pohon hutan ditebas. Ditanami mahoni, jati, akasia dan gemilina. Lebih seragam.

Lahan kami tak hanya menyempit. Kayu bakar juga susah dicari, pun kayu untuk pagar kebun dan bertani. Status hutan adat dibuat menjadi kabur. Lantas diklaim menjadi hutan negara.

Pada beberapa kasus, masyarakat didorong menebang hutan adatnya. Kemudian ditanami tanaman yang seragam, atau jenis baru, lantas diubah statusnya menjadi kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Pada 1990-an, tanpa bertanya kepada kami, pemerintah juga mengeluarkan izin-izin pertambangan yang mengijinkan perusahaan  membongkar gunung-gunung batu.

Mereka adalah PT So’e Indah Marmer dan PT Karya Asta Alam yang mendapat izin menambang Fatu Naususu–Anjaf di Fatukoto.

Sementara PT Setia Pramesti mendapat konsesi untuk batu Nua Mollo di Ajobaki.

PT Semesta Alam Marmer mendapatkan gunung batu Naetapan di Desa Tunua.

PT Sagared Mining diberikan konsesi tambang untuk batu Fatumnut, dan PT Teja Sekawan mendapat izin untuk menambang Fatulik dan Fatuob di Fatumnasi–Kuanoel.

Kerusakan alam telah berdampak terhadap tubuh manusia, perempuan, laki-laki dan anak-anak, termasuk budaya kami.

Kami saling bermusuhan antar saudara, bapak dan anak, lahan-lahan pertanian  longsor, perempuan dan anak-anak sakit.

Hal itu membuat kami tak bisa tinggal diam. Tambang-tambang itu membongkar gunung batu keramat: Naususu, ibu dari gunung-gunung batu–yang mana nama-nama marga kami berasal.

Saya anak seorang amaf. Tapi saya perempuan. Menurut adat, saya tidak punya hak untuk bersuara atau menjadi pemimpin. Tapi saya tak bisa tinggal diam. Saya memimpin perjuangan menolak tambang.

Perempuan menghadapi banyak tantangan dan ancaman saat berjuang melawan perusakan alam oleh pemerintah dan perusahaan, termasuk saya.

Saya dianggap sebagai pelacur karena sering berada di luar rumah, siang maupun malam untuk melakukan pengorganisasian.

Saya mendapat teror dari aparat keamanan. Mereka mengancam saya akan ditangkap dan dipenjara karena dianggap menggangu program pembangunan dari pemerintah.

Bagi pemerintah, tambang marmer akan mendatangkan pendapatan daerah.

Saya dan perempuan lain juga dipukul oleh preman dari perusahaan tambang. Kekerasan itu dilakukan di rumah, juga di pengadilan saat kami ajukan gugatan menutup tambang.

Saya dibacok dengan parang, dipukul, dan diancam akan dibunuh, saat pulang ke rumah malam hari. Padahal saya pulang ke rumah untuk menyusui bayi saya yang berumur dua bulan.

Satu minggu setelah itu, ada ancaman lagi dari pekerja tambang, rumah saya dikepung, sehingga saya tidak bisa masuk rumah.

Saya harus lari ke hutan membawa bayi saya, dan berpisah dengan suami dan dua anak saya yang lain selama enam bulan.

Keluarga saya juga mendapat kekerasan. Anak kedua, laki-laki, mendapat lemparan batu di kepala sampai bocor. Anak-anak tidak nyaman bersekola belajar di kota, sehingga harus bersekolah di kampung.

Kami ditangkap dan dipenjara. Di tambang Faut Lik, laki-lak  ditangkap dan dipenjara 8 bulan.  Di tambang batu Naitapan, 20 orang perempuan dan laki-laki ditangkap dan dipenjara selama 20 hari.

Saya dan perempuan yang berjuang tidak bisa ke pasar karena dihadang preman dan mengancam memukuli perempuan.

Kami, laki-laki dan perempuan harus berjuang untuk menyelamatkan tubuh kami, tubuh alam, adat kami.

Adat istiadat merupakan senjata kami berjuang, sebab itu yang mengikat kami dengan nenek moyang, dengan alam.

Banyak langkah yang kami lakukan untuk mengusir tambang dari tanah kami. Dan itu butuh energi dan waktu yang panjang. Sekitar 13 tahun.

Banyak pelajaran yang kami dapat dari perjuangan tersebut. Pengorganisasian dilakukan untuk mencapai tujuan yang sama.

Dukungan keluarga sangat penting. Laki-laki dan perempuan harus bekerjasama. Saling menghargai dan menghormati. Kekuatan harus disatukan dalam berbagi peran melawan tambang.

Kami melakukan berbagai strategi. Termasuk menghidupkan ritual-ritual adat, berdoa di gereja, membuat tim intel kampung, konsolidasi, melakukan demonstrasi–dan segala cara agar tambang tidak beroperasi.

Termasuk bekerjasama dengan kelompok lain, LSM di lokal maupun nasional, gereja dan kelompok agama, kelompok mahasiswa, media lokal dan nasional.

Kami juga melakukan diskusi-diskusi tentang filosofi hubungan manusia dengan bumi, dimana bumi dilambangkan sebagai tubuh manusia. Dan kami menang, satu persatu tambang yang merusak itu kami tutup.

Tapi kemenangan itu tak cukup. Tantangan berikutnya adalah bagaimana memulihkan alam yang rusak, dan berpikir jauh ke depan untuk memilih ekonomi yang berkelanjutan.

Kami berpikir keras untuk menemukan caranya. Kami membuat diskusi dengan tokoh adat dengan anak muda, kami membuat ritual.

Kami memutuskan sikap untuk menolak ekonomi yang merusak alam, merusak adat kami. Kami harus menata produksi dan konsumsi kami.

Dalam sebuah pertemuan adat, kami mengikrarkan hanya akan menjual apa yang bisa kami buat–produksi. Kami tak akan menjual lahan, sungai, hutan gunung, air dan laut.

Tiap dua tahun kami berkumpul di bawah batu Naususu dan mengadakan Festival Ningkam Haumeni.

Pada festival itu kami merayakan perjuangan kami dan bertukar pengalaman dengan warga dari berbagai kampung di kabupetan TTS.

Kami membentuk kelompok perempuan penenun, dan kelompok pertanian organik serta kelompok ternak.

Kami melakukan penghijauan di sekitar sumber air dengan tanaman asli, dan membangun lumbung-lumbung pangan.

Perjuangan kami masih banyak, termasuk memperluas hutan perlindungan mata-mata air.

Dua tahun lalu, rakyat berhasil memperjuangkan saya duduk di DPRD, mewakili mereka di propinsi. Peran ini membuat tantangan yang kami hadapi lebih besar lagi.

Apalagi propinsi NTT dan wilayah lain di Indonesia, kini menghadapi dampak perubahan iklim yang membuat kami makin sulit memprediksi waktu tanam, dan mempengaruhi ketersediaan pangan kami.

Tapi apapun bentuknya tantangan itu, adat istiadat kami mengajarkan untuk memperlakukan alam seperti memperlakukan tubuh kami.

Oleh karenanya pilihan ekonomi: hanya menjual apa yang bisa kami produksi, tak bisa lagi ditawar-tawar. Dan sebagai perempuan adat Mollo, saya juga mendorong kita semua melakukan hal yang sama.

Aisyah Inara

Supriadi Ditetapkan menjadi Ketua BPAN Daerah Inhu 2016-2019

Sabtu, 09 Oktober 2016 bertempat di komunitas Sipang, Kecamatan Batang Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu – Riau, Supriadi dipilih dan ditetapkan menjadi ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Indragiri Hulu, Riau. Pemilihan dilakukan secara musyawarah mufakat dalam rangkaian kegiatan Jambore Daerah II BPAN Inhu yang diikuti oleh utusan pemuda adat yang berasal dari sepuluh komunitas adat yang berada di daerah Indragiri Hulu khususnya Talang Mamak. Kesepuluh komunitas itu adalah Talang Parit, Sungai Limau, Kedabu, Durian Cacar, Duapuluh Patar, Sungai Jirak, Pembumbung, Pejangki, Anak Talang dan Cenaku Kecil.

ketua-bpan-daerah-inhu-2016-2019-supriadi-tongka

Ketua BPAN Daerah Inhu 2016-2019 Supriadi Tongka

Supriadi ditetapkan menjadi Ketua BPAN Daerah Indragiri Hulu untuk meneruskan perjuangan yang telah dilakukan bersama kepengurusan periode 2016-2019 yang dipimpin oleh Nurbayus. Selain penetapan pengurus dalam kegiatan yang dilakukan selama tiga hari itu BPAN Daerah Inhu juga telah menetapkan program kerja selama tiga tahun. Hal ini juga berdasarkan refleksi dari perjalanan penyelenggaraan organisasi tiga tahun sebelumnya serta perjuangan pemuda adat saat ini khususnya di Talang Mamak.

pemuda-adat-inhu-makan-bersama

Pemuda Adat Inhu makan bersama dengan alas daun pisang.

Ketua Umum BPAN, Jhontoni Tarihoan mengatakan “pemilihan dan penetapan pengurus di tingkat daerah merupakan salah satu tugas Jambore Daerah yang harus dilakukan sesuai dengan Statuta BPAN untuk mencapai Visi BPAN: generasi muda adat bangkit bersatu bergerak mengurus wilayah adat. Sebagai organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, dengan semangat muda kita harus memperkuat perjuangan yang terus dilakukan AMAN untuk pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di seluruh penjuru nusantara ini.” Sembari memberikan bendera BPAN sebagai simbol perjuangan yang harus terus dikibarkan, Jhontoni Tarihoran juga mengatakan “perjuangan ini harus kita lakukan secara bersama-sama. Tidak hanya kita pertanggungjawabkan kepada organisasi saja tetapi juga kepada leluhur kita yang telah menitipkan wilayah adat serta kepada kehidupan generasi mendatang.”

lingkaran

Berdiri melingkar

“Ada banyak pekerjaan yang telah kita tetapkan untuk tiga tahun ini, saya bersedia menjadi Ketua karena teman-teman telah memilih dan akan bersedia bersama-sama untuk melakukannya. Kegiatan selama ini telah kita lakukan bersama-sama seperti pemetaan, penelusuran sejarah dan aksi penolakan perusahaan yang merusak wilayah adat kita” kata Supriadi sesaat setelah dikukuhkan menjadi Ketua Daerah Indragiri Hulu periode 2016-2019 oleh Ketum BPAN.

 

Sedangkan Ketua BPH AMAN Daerah Inhu, Abu Sanar dalam sambutannya menyampaikan rasa syukur dan bangganya atas keterlibatan pemuda adat dalam perjuangan masyarakat adat di Daerah Inhu. “Kita layak bersyukur karena pada awalnya hanya beberapa orang saja pemuda yang terlibat dalam perjuangan bersama saya dan teman-teman. Saat ini kita terus bertambah jumlahnya di berbagai komunitas. Hal inilah yang harus terus kita bangkitkan setelah pengurus yang baru telah ditetapkan. Saya juga bangga atas dorongan dari Pengurus Nasional BPAN melalui kehadiran saudara Jhontoni Tarihoran yang sudah kedua kalinya untuk membangkitkan semangat pemuda di Daerah Inhu untuk mengurus wilayah adat” katanya.

 

Sementara Ketua AMAN Wilayah Riau Juindra mengharapkan agar Ketua yang baru ditetapkan perlu dukungan dan kerjasama dari anggota serta organisasi induk dalam menjalankan program yang telah ditetapkan bersama-sama. ”Selama tiga hari ini kita telah belajar dan menetapkan program BPAN periode 2016-2019. Seperti yang dikatakan Supriadi selaku Ketua, kita harus bersama-sama untuk melaksanakan program dan rekomendasi-rekomendasi yang muncul dalam pertemuan ini. Dia sendiri tidak akan kuat tanpa dukungan dari kita” tutupnya. ***

Media BPAN

 

Jaga dan Urus Wilayah Adat Malamoi

Sorong (2/10/2016) – AMAN Sorong Raya menggelar pelatihan kepada pemuda-pemudi adat Malamoi. Pelatihan yang dihelat selama seminggu ini bertajuk ‘membangkitkan keterpanggilan pemuda adat untuk mempertahankan dan mengurus wilayah adat’.

bapak-david-ulimpa

Kepala Kampung David Ulimpa

Kepala Kampung Siwis Distrik Klaso David Ulimpa menyambut baik pelatihan ini. Dalam sambutannya beliau menyatakan sangat mendukung terselenggaranya kegiatan tersebut. “Saya selaku pemimpin kampung memberikan apresiasi kepada pemuda-pemudi adat Moi dari lima distrik dan dua lembah yaitu Wen-Nasi dan Wen-Klaso (bahasa Moi)  yang terlibat dalam pelatihan ini.

Dalam pelatihan ini Kepala Kampung Siwis David Ulimpa berpesan agar pemuda adat mau turun ke jalan. Berdemonstrasi. “Harapan saya selaku orang tua di mana kalau kita demo (aksi di jalan), anak-anak Moi harus bisa semua hadir. Yang kami, orang tua harapkan, kamu anak-anak mahasiswa itu mestinya datang mendukung kami orang tua yang sudah bodoh  seperti begini, tidak tau apa-apa ini,’’ nadanya menegangkan suasana.

Beliau juga mengkritik kekompakan pemuda adat Moi. Ia menyesalkan sikap anak-anak Moi yang belum bersatu dan kuat dengan pembuktian bergerak bersama para orangtua menolak perkebunan. “Kalian hadirlah supaya pemerintah itu bisa lihat wajah-wajah orang Moi itu seperti apa,” tambahnya.

Selain itu, Thomas Malak Ketua Adat Moi Kampung Siwis Distrik Klaso juga hadir dalam pembukaan pelatihan ini. Menurut Thomas, dari sisi adat, semua masyarakat adat Moi pada umumnya bahwa Klaben/Klaso  adalah tempat pendidikan adat (sekolah adat) bagi suku Moi pada zaman dulu.

bapak-thomas-malak

Ketua Adat Thomas Malak

Ia pun menceritakan pengalamannya pada waktu manajer  PT. Mega Mustika Plantation mulai melakukan sosialisasi kepada masyarakat di kampung Siwis. “Pada waktu itu saya orang tua adat yang memang benar-benar menolak PT. Mega Mustika Plantation, karena saya mengingat bahwa Klaben ini tempat pendidikan adat. Jadi hutan adatnya tidak bisa digusur atau dihilangkan oleh perusahan perkebunan sawit,” katanya.

Merujuk pada pelatihan pemuda adat Moi selama kurang lebih tujuh hari ternyata banyak hal yang muncul dari peserta terkait dengan krisis yang dirasakan langsung. Dua dari antara peserta pelatihan menceritakan pengalamannya hidup di sekitar konsesi sawit. Mereka adalah Feri Gilik dan Jhoni Kalasibin dari kampung yang sama: Malalilis.

lingkaran

Peserta sedang mempersentasikan hasil diskusi per kelompok

Feri Gilik mulai menceritakan kondisi yang mereka rasakan pada waktu pertama kali PT. Henrison Inti Persada (HIP) masuk di wilayah adat marga Gisim. Proses ini terus berjalan. Ada beberapa warga asal kampung Malalilis yang juga ikut bekerja di lahan perkebunan sawit milik PT. HIP.

Feri Gilik menuturkan, pada waktu itu manajer perkebunan sawit mulai merayu beberapa orang tua untuk menyerahkan lahannya. Warga menolak. Kali kedua perusahaan mencoba menaklukkan warga. Penduduk bergeming. Merasa kecewa, ketiga kalinya, perusahan mulai mengintimidasi dan memaksa negosiasi dengan warga pemilik hak ulayat. Berada dalam tekanan, warga akhirnya menyerahkan lahan tersebut kepada perusahan minyak mentah itu.

belajar-di-alam

Peserta pelatihan belajar di alam

Feri Gilik mengaku tidak tahu perusahaan memakai cara apa hingga para orangtua bisa menandatangani izin perkebunan tersebut. “Cuma  setahu saya pada waktu itu, uang sirih pinang untuk pembukaan lahan hanya lima juta rupiah (Rp 5.000.000) diserahkan kepada marga Gilik dan Do Kalasibin selaku pemilik hak ulayat,” kenangnya. 

Menurut Jhoni Kalasibin, perusahaan berjanji kepada pemilik hak ulayat akan  memberikan beasiswa kepada anak-anak sekolah. Namun, sampai sekarang tidak ada beasiswa yang diterima anak-anak sekolah. Pihak perusahaan juga berjanji akan membangun dua puluh buah rumah kepada pemilik hak ulayat, nyatanya yang dibangun hanya dua buah rumah. Satu untuk marga Gilik dan satu lagi bagi marga Do Kalasibin. Sedangkan delapan belas buah rumah lainnya sampai sekarang belum dibangun. “Itulah yang kami alami di kampung Malalilis,” ujar Feri Gilik kesal.

belajar-sama-sama

Metode lingkaran

Salah satu sesi yang menarik di kegiatan ini adalah menonton film. Film krisis yang terjadi di wilayah adat diputar dan ditonton bersama warga kampung Siwis. Film ini mempertontonkan bahwa krisis yang terjadi di wilayah adat juga dirasakan oleh hampir seluruh masyarakat adat di belahan bumi ini.

“Kepemilikan tanah adat dan hak-hak di dalamnya harus kita pertahankan. Film tadi mengajak kita pulang dan merenungkan secara bersama-sama kehidupan kita saat ini seperti apa. Masa depan anak cucu kita nanti bagaimana. Karena yang kita lihat di film krisis tadi, bukan hanya di Papua saja terjadi krisis tetapi juga di mana-mana,” ujar kepala kampung.

Menurutnya film tersebut sangat tepat menjadi contoh bagi pemuda adat atau anak-anak Moi secara umum untuk kembali menjaga dan mengurus wilayah adat tanah Malamoi (Wen Nase dan Wen Klaso).

gambar-wilayah-kehidupan

Menggambar wilayah kehidupan

 

 

[Melianus Ulimpa]

 

 

 

Toni Syamsul Pimpin Baralosa Periode 2016-2019

Lombok (3/10/2016) – Bertempat di Komunitas Krama Adat Sembalun Bumbung, Desa Sembalun Bumbung, Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur – Nusa Tenggara Barat, Barisan Pemuda Adat Lombok Sumbawa (Baralosa) melaksanakan Jambore Wilayah II. Baralosa sebagai wadah perjuangan pemuda adat di Nusa Tenggara Barat dideklarasikan pada 24 Oktober 2011 dan bergabung dengan Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) sebagai organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Jambore wilayah ini dimulai di Bale Geleng, Komunitas Kemangkuan Tanaq Sembahulun yang diawali dengan doa bersama dan sambutan-sambutan dari Ketua BPH AMAN Wilayah Nusa Tenggara Barat, Ketum Umum BPAN Jhontoni Tarihoran dan Dewan AMAN Nasional Kamardi, S.H., sekaligus membuka Jamwil II Baralosa. Acara pembukaan dihadiri oleh Pengurus AMAN Wilayah Nusa Tenggara Barat dan utusan pemuda adat dari berbagai daerah: Mataram, Lombok Tengah, Lombok Utara, Lombok Timur, Lombok Barat, Sumbawa, Bima dan Dompu.

Para pemuda adat Lombok tengah mengucapkan janji pemuda adat

Para pemuda adat Lombok tengah mengucapkan janji pemuda adat

Setelah pembukaan, kegiatan kemudian dilanjutkan di Patra Guru suatu tempat yang merupakan situs ritual komunitas Krama Adat Sembalun Bumbung. Di tempat ini Baralosa melakukan diskusi sekitar dua hari dengan mendirikan tenda. Jambore menjadi ruang refleksi bagi Baralosa atas perjalanannya sebagai suatu organisasi pemuda adat.  

Peserta berbagi informasi atas situasi atau persoalan-persoalan yang menimpa masyarakat adat di berbagai daerah. Demikian juga dengan berbagai masalah organisasi di tingkat wilayah, daerah dan kampung yang menjadi pembahasan pada kegiatan jambore. Pembahasan dan penetapan keputusan-keputusan pada Jamwil II Baralosa NTB kali ini dilakukan dengan metode partisipatif yaitu metode ‘warung kopi’.

Pemilihan Ketua Baralosa masa bakti 2016-2019 disepakati tidak akan menggunakan metode voting. Namun dalam proses penetapan ketua dari dua orang calon sempat terjadi perdebatan antara peserta. Perdebatan itu pun mengarah ke penetapan ketua agar dilakukan secara voting. Kepada dua calon pun diberikan waktu khusus untuk berdiskusi memutuskan salah seorang di antaranya untuk ditetapkan mejadi ketua, akan tetapi hal itu pun tidak menjadi jalan keluar. Sebelumnya bakal calon ketua yang diusulkan oleh peserta terdiri dari tiga orang yaitu: Suniardi dari Sembalun daerah Lombok Timur, Lalu Kusuma Jayadi dari Lombok Tengah dan Toni Syamsul Hidayat dari Lombok Utara. Namun Suniardi tidak bersedia untuk menjadi calon ketua, sehingga yang menjadi calon terdiri dari Lalu dan Toni. Hingga menjelang pukul 17:00 mufakat antara semua peserta dan kedua calon tercapai dengan menetapkan Toni Syamsul Hidayat sebagai ketua PW Baralosa Nusa Tenggara Barat masa bakti 2016-2019. Sebelumnya Baralosa dipimpin oleh pejabat Ketua Syahadatul Khair setelah Raden Saepudin meninggal dunia pada tahun 2014 yang lalu.

Sebelum acara penutupan, pelantikan dan pengukuhan Ketua terpilih Toni Syamsul Hidayat dilakukan oleh Ketua Umum BPAN Jhontoni Tarihoran dan disaksikan peserta jambore. Kemudian kegiatan ditutup secara resmi oleh Dewan Pemuda Adat Nusantara region Bali-Nusa Tenggara (Bali-Nusra) Mohamad Kesumajayadi. ***

[Media BPAN]

BPAN Gelar Pelatihan Kepemimpinan Generasi Penerus

bpan.aman.or.id – Sungai Utik kembali menjadi tempat penyelenggaraan pelatihan yang sudah dimulai sejak 2014. Tiga kali berturut-turut pelatihan ini diadakan di komunitas Dayak Iban itu.

Tahun 2016 terdapat 24 peserta yang mengikuti pelatihan ini dari berbagai wilayah adat: Tano Batak (Sumut), Talang Mamak (Riau), Jambi, Palembang, Banyuwangi (Jawa Timur), Semunying (Kalimantan Barat), Sungai Utik (Kalimantan Barat), Pulan (Kalimantan Barat), Kalimantan Selatan, Punan (Kalimantan Utara), Paser (Kalimantan Timur), Ranowangko (Sulawesi Utara), Sulawesi Tengah, Flores (NTT), Molo (NTT), Halmahera (Maluku Utara), dan Moi (Papua Barat).

Para peserta: pemuda yang bertekad baja untuk mengurus dan memperjuangkan wilayah adatnya dari gempuran perusahaan yang semakin menggila. Semua peserta diberangkat dan dipertemukan oleh perasaan senasib sepenanggungan. Keadaan wilayah adat yang menggawat dan menimbulkan krisis menjadi titik semangat perjuangan mereka untuk mengikuti pelatihan berdurasi tiga minggu.

Hadir beberapa fasilitator dalam pelatihan ini antara lain Serge Marti – Simon Pabaras – Eny Setyaningsih dari LifeMosaic, Mina Susana Setra dari AMAN, Jhontoni dari PN BPAN, Muhamad Yusuf dan Ahmad Mursidi atau yang akrab disapa Tole dari Taring Padi (seniman), Sandrayati Fay (musisi), Olvy Tumbelaka – Nedine Helena Sulu – Herkulanus Edmundus – Melianus Ulimpa (peserta 2015) dan Noer Fauzi Rachman (Kantor Staf Kepresidenan/KSP).

Seluruh peserta dan fasilitator tinggal bersama di Rumah Panjang atau Rumah Betang atau dikenal juga dalam bahasa setempat Rumah Panjai. Rumah Panjai yang berjumlah 28 bilik atau 28 pintu menjadi tempat bermain, belajar, tidur dan segalanya. Peserta yang ada pun diacak penempatannya dalam berbagai bilik, sehingga tidak semua bilik terisi penuh oleh peserta atau fasilitator.

Hening

Alam Sungai Utik nan indah untuk tempat bermain dan belajar memang tiada taranya. Tidak ada keributan ataupun usikan yang memungkinkan timbulnya ketidaknyamanan selama pelatihan. Semua peserta mendapati dirinya dalam kehangatan dan kebahagiaan yang sudah sulit dijumpai di tempat lain.

Kuatnya tradisi menjadi satu hal yang mengikat dan menciptakan seluruh suasana nyaman dan tenang yang kami alami. Tradisi adat yang kuat itu berjalan biasa, mengalir, bukan dibuat-buat saat kami datang. Itu merupakan kebiasaan mereka sejak dahulu sehingga kehidupan masyarakat kampung tertata rapi dan bebas dalam aturan main adat yang mereka sepakati dan praktikkan terus-menerus.

Hening di sini yang paling penting bukan saja tidak banyak suara bising seperti dari kendaraan roda dua, tiga, empat bahkan lebih atau suara riuh masyarakat. Hening dalam arti mendalam adalah tidak ada satu pun perusahaan perampas tanah atau hutan di sepanjang wilayah adat Sungai Utik. Inilah kenyataan yang membanggakan sebab sangat jarang sekali terdapat wilayah adat yang jauh dari taring korporasi perusak lingkungan dan kehidupan.

Masyarakat adat Sungai Utik benar-benar tidak mau menerima perusahaan yang datang ke wilayah adat mereka. Kegigihan dan keteguhan menolak “pembangunan” tersebut sungguh kenyataan yang terbukti, meskipun seolah dalam mimpi. Kesadaran mereka akan begitu berharganya hutan, ladang, sungai dan segala yang ada di wilayah adatnya membuat mereka tidak bisa disentuh oleh rencana-rencana jahat.

“Kami dibilang kolot. Tidak mau pembangunan, ketinggalan zaman dan bodoh oleh masyarakat adat tetangga. Begitu pun orang-orang Pontianak (ibukota Kalimantan Barat),” cerita Rengga pemilik bilik dua.

Masyarakat adat Sungai Utik dicap tidak mengikuti perkembangan zaman. Terisolasi dalam keterbelakangan seperti setia dalam penggunaan pelita, walau belakangan sudah masuk solar panel, listrik bersumberkan cahaya matahari. Lebih jauh bahkan dalam Oktober nanti, listrik negara akan mulai masuk. Namun itu semua adalah jenis kebutuhan yang bukan pertanda kemajuan. Itu sebabnya orang Sungai Utik tidak ambil pusing soal kedatangan listrik yang bagi masyarakat di luar Sungai Utik, itu merupakan suatu anugerah zaman. Dengan kata lain rencana kedatangan PLN ke Sungai Utik bukanlah atas permohonan yang memelas sehingga pemerintah akan memasukkan listrik. Kebijakan tersebut bagi masyarakat adat Sungai Utik tidak memengaruhi kebiasaan atau kebudayaan mereka sebagai orang yang pantang berjabat tangan dengan korporasi yang bersifat eksploitatif.

Pelatihan

Selama pelatihan, seluruh peserta selalu terlibat aktif. Dengan beragam metode yang disajikan fasilitator, ya sangat memperkaya bekal peserta untuk menjadi fasilitator di komunitasnya masing-masing. Metode partisipatif dan berbentuk lingkaran selalu menjadi ruang yang diciptakan untuk memulai dan melanjutkan setiap kegiatan. Efektifitas lingkaran tentu sangat terasa sekali bagi seluruh peserta dalam mengikuti pelatihan yang dinikmati dengan serius, santai, dan selesai itu.

Menurut Ibu Viktoria Mael, peserta asal Nusa Tenggara Timur, jenis pelatihan ini berbeda sekali dengan yang pernah ia dapatkan sebelumnya. Pelatihan ini mengantarkan peserta pada tingkat partisipasi yang maksimal sehingga setiap sesi yang memunculkan pembahasan atau masalah yang harus dihadapi selalu dipecahkan secara bersama-sama. Dalam duduk melingkar diibaratkan bahwa semua orang setara, sehingga tidak ada yang mendominasi atau malah menguasai kegiatan.

“Jadi, menurut saya ini adalah pelatihan yang sangat bagus. Sebelumnya saya bekerja di birokrasi dan mendapat pelatihan namun bentuknya hanya searah. Bahkan kita tidak punya waktu untuk menyatakan pendapat. Kita selalu hanya jadi pendengar,” tuturnya dengan wajah mengkerut seakan kesal dengan pengalaman di birokrasi.

Berbeda dengan Ibu Viktoria atau yang biasa disapa Ibu Viki itu, Jafri pemuda adat dari Talang Mamak menyampaikan bahwa pelatihan dengan bercermin pada metode-metode yang digunakan sudah pernah ia ketahui. Hal itu ia dapat dengan turut mempraktikkan beberapa metode dalam pelatihan ini secara langsung di Talang Mamak bersama dengan Eny dan Simon dari LifeMosaic.

“Namun ada beberapa yang menurutku itu sangat bagus. Misalnya, selain metode baru, kehidupan masyarakat di sini itu sangat perlu diteladani,” kata pemuda yang lihai berpantun ini.

Pelatihan ini memang berbeda dengan yang umum dikenal di mana-mana. Meskipun ada banyak pelatihan yang mungkin sudah merubah caranya dalam menyajikan metode-metodenya, yang pasti ini adalah salah satu yang baru dalam gerakan masyarakat adat khususnya. Berikut perlu disampaikan bentuknya yang sudah bergeser dari pelatihan biasa, sekalipun sudah ditonjolkan beberapa di paragraf sebelumnya.

Metode lingkaran

Sejak awal seluruh peserta tiba di Rumah Panjai, Sungai Utik, duduk melingkar sempurna telah diperagakan. Seterusnya setiap ada pembicaraan atau setiap masuk sesi, duduk melingkar dan kadang berdiri sebelum memulai, misalnya sekadar bernyanyi untuk memompa semangat, selalu dilakukan dengan melingkar penuh. Dengan demikian dalam duduk melakukan sesi, semua peserta maupun fasilitator yang memfasilitasi berada dalam keliling cincin.

Falsafah lingkaran sangat sederhana. Setiap orang berada dalam posisi yang sama. Secara fisik, semua orang bisa bertatap muka dan karena itu tidak ada yang membelakangi maupun yang dibelakangi. Tambahan lagi, posisi melingkar ini mempersembahkan pemaknaan bahwa kesetaraanlah yang diutamakan, sehingga semua orang bebas berpendapat. Tidak peduli benar atau salah. Sebab semua orang adalah guru. Satu dengan yang lain bisa menyampaikan pendapat, juga mendengar apa pesan orang lain.

Duduk melingkar ini sudah dipraktikkan cukup banyak oleh masyarakat adat di Filipina. Di negeri bekas sekutu Amerika itu sekarang telah ada pendidikan adat yang jenjangnya mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Metode belajar dan berdiskusi yang selalu mereka gunakan adalah dengan duduk melingkar atau berdiri melingkar.

Demikianlah metode ini dalam setiap sesi selalu dipergunakan. Untuk menggali pendapat pun dilakukan mengalir secara melingkar sehingga tidak pernah terjadi dominasi satu atau dua orang yang sudah tahu atau sok tahu atas suatu pemahaman. Semua turut menyumbang pendapat, sekalipun tidak relevan dengan topik atau pertanyaan yang diajukan bersama.

Terkait lingkaran lagi, satu metode yang diperlukan dan dipergunakan untuk memfasilitasi peserta untuk berkontemplasi terkait dirinya masing-masing dengan wilayah adatnya yaitu Lingkaran Jiwa. Metode ini merangkai setiap jiwa yang saling mendapat pengalaman betapa wilayah adatnya semakin terancam oleh rakusnya penguasa dan pengusaha. Juga sebagai keterhubungan antara satu dengan yang lain dalam skopnya memperjuangkan wilayah adat yang sebab dan penyebabnya tidak berbeda jauh.

Dalam sesi ini, siapa saja dituntut untuk hening dan memikirkan nasib masa depan di wilayah adat masing-masing. Kompleksitas persoalan yang telah dimulai penjahat sejak masa lalu dan berlangsung terus di masa kini direnungkan untuk kemudian dipikirkan bagaimana supaya semakin marak orang menyadari betapa pentingnya menjaga bumi, salah satunya lewat masyarakat adat, untuk membayangkan masa depan yang berhasil tanpa kerakusan kekuasaan.

Dalam praktik bermeditasi sederhana ini, disajikan batu, ranting, bakul kosong, dan daun-daunan sebagai simbol empat hal yang bisa mewakili perasaan setiap orang akan apa yang terjadi atas wilayah adatnya. Batu merupakan simbol ketakutan atas apa yang telah terjadi di wilayah adat, namun sekaligus juga simbol kekuatan atau keteguhan yang mana ketakutan jika semakin lama mengendap akan mengeras menjadi kekukuhan dalam setiap orang. Ranting merupakan simbol kemarahan atas segala kerusakan dan perusakan yang terus terjadi di wilayah adat. Di mana penguasa dan selingkuhannya: pengusaha, selalu menaburkan kebencian terhadap alam dan kepada manusia. Mereka tak henti-hentinya merusak hutan, merampas tanah dan akhirnya menghancurkan kehidupan masyarakat adat pemilik tanah itu. Bakul kosong yaitu simbol perasaan yang kosong. Kecut. Terkadang perasaan masyarakat adat sudah kosong sebab segala sesuatunya memang sudah dirampas oleh negara dan korporasi yang terus merajalela. Daun-daunan menjadi simbol kelemahan, keragu-raguan. Di titik ini siapa saja yang berjuang bersama masyarakat adat atau yang mempertahankan tanahnya dari ancaman bertubi-tubi penakluk dengan ganasnya sangat terasa bisa melumpuhkan kekuatan. Siapa saja peserta diperbolehkan untuk menyampaikan isi hatinya dalam Lingkaran Jiwa dengan memegang simbol-simbol yang mewakili kemarahan, ketakutan, kekosongan, bahkan keraguannya. Dan setiap siapa saja yang sudah selesai menumpahkan kegeramannya, dan kembali ke barisan cincin, peserta lainnya merangkul dan menguatkan dan meneguhkan dengan mengucapkan kata-kata “aku bersamamu” secara serempak.

Barangkali ada penjelasan lain yang belum tertuang dalam paragraf di atas. Akan tetapi, Lingkaran Jiwa merupakan suatu metode mendasar yang dibutuhkan dan diperlukan untuk menyentuh hati siapa saja yang benar-benar mau memperjuangkan hak-hak atas wilayah adatnya. Dengan demikian, metode ini bisa dikatakan salah satu metode yang sangat berharga.

Panen

Salah satu yang menarik dari pelatihan ini adalah peniadaan notulensi. Notulensi atau mencatat setiap sesi yang dilewati ke dalam catatan bundel dianggap tidak relevan lagi. Satu alasan yang paling sering diucapkan mengapa notulensi ditiadakan adalah kurang berfungsinya catatan setelah serangkaian pelatihan selesai diadakan. Catatan yang membundel dikatakan hanya menjadi dokumentasi yang tidak bermanfaat sebab selesai kegiatan, catatan itu akan tenggelam menjadi bundel, tidak akan tersentuh oleh peserta atau siapa saja. Sebab jika sudah dicatat hingga menghabiskan sebuah buku atau lebih ditulis tebal, orang akan malas membaca atau membukanya.

Karena itu, panen adalah solusi alternatif yang dimanfaatkan dalam pelatihan ini. Panen ialah penjabaran dan pemahaman ulang atas sesi yang telah dilewati sehari sebelumnya. Jadi setiap pagi sebelum sesi baru dimulai, selalu disajikan terlebih dahulu panen dari sesi-sesi di hari sebelumnya. Selain panen harian, terdapat juga panen raya. Panen raya yaitu panen atas semua atau ¾ jalannya kegiatan sebelum diakhiri dengan panen raya yang kali kedua dengan merangkum keseleruhan proses sejak awal sampai akhir segala sesi.

Panen ini sendiri memiliki kelebihan atau keunikan tersendiri. Panen harian misalnya disajikan dengan berbagai cara yang menarik, attraktif dan sekaligus padat atau langsung pada intinya. Adapun beberapa cara yang dilakukan dalam panen ini di antaranya model: talk show, live report/laporan reporter secara langsung di lapangan, puisi, lagu/bernyanyi, pantun, teatrikal, drama, gambar poster, pantomim, diorama, presentase/pemaparan, komedian.

Semua model panen tersebut dipraktikkan, sehingga dengan melihat jenis-jenis tersebut setiap peserta bisa memilah satu atau dua cara yang menarik yang bisa dipraktikkan di wilayah adatnya masing-masing. Juga jika memungkinkan semua model tersebut pun akan dimainkan bahkan lebih. Tergantung kreativitas si fasilitator yang akan memfasilitasi pertemuan tentang membicarakan masalah di wilayah adat masing-masing. Dengan demikian, siapa saja yang tergabung dalam pembicaraan tersebut diharapkan bisa menangkap dengan lebih mudah, ringan, tidak membosankan apalagi membuat ngantuk. Sebab masyarakat adat/pemuda adat yang akan difasilitasi di wilayah/komunitas tentu tidak semua orang kekotaan atau sekolahan yang terbiasa disuapi dengan metode pembelajaran yang selalu bergantung pada catatan kaku minus atraksi.

Dengan kata lain, metode panen ini sebenarnya lebih menekankan pada kebutuhan masyarakat yang lebih terbiasa menangkap pesan dengan: mendengar dan melihat. Masyarakat yang lebih condong visual atau audio akan sangat mudah didekati dibandingkan dengan memaksakan mereka mengikuti pendekatan tertulis. Masyarakat Indonesia yang sebagian besar menganut tradisi lisan jelas lebih mudah menangkap pesan yang disampaikan lewat audio visual, yang sifatnya lebih menghibur—dengan catatan isi atau esensi yang hendak disampaikan tidak hilang atau bahkan tidak ada.

Menonton film

Metode lain yang terdapat dalam pelatihan ini adalah menonton film. Terdapat beberapa film yang diputar sesuai tema sesi yang bergulir. Mulai dari film tentang krisis di wilayah adat, misalnya film “di Balik Kertas”. Selain itu film mengenai pendidikan yang memenjarakan manusia di masa lalu bahkan membuat masyarakat adat jadi robot yang tidak tahu apa-apa dan ditarik ke kota untuk kepentingan sekolah. Sementara tanah adat beserta potensi sumber daya yang ada di dalamnya dihisap sampai habis. Pendidikan Barat yang ditunjukkan menyatakan bahwa masyarakat di kampung itu primitif, karena itu harus diajarkan pendidikan modern yang merupakan milik Barat dan jelas tujuannya untuk mengeksploitasi.

Film lain yang menginspirasi juga ditayangkan. Beberapa film yang ada diputar menurut alur sejarah, bagaimana terjadi datangnya krisis, hilangnya tanah, lalu kini perampasan tanah malah tambah marak di mana-mana. Namun di ujung sesi menonton film, disajikan pula film yang menginspirasi di mana harapan-harapan atau upaya untuk terus menjaga semangat perjuangan ditunjukkan dengan melihat perkembangan perjuangan di belahan benua lain. Film yang menantang di mana diceritakan bahwa masyarakat adat harus punya impian di masa depan yang disebut Rencana Kehidupan atau dalam bahasa Spanyol disebut Plan de Vida.

Selain metode yang akan menjadi bekal calon fasilitator, diskusi seputar krisis yang muncul di lapangan adalah satu hal pokok yang dilakukan dalam pelatihan ini. Membuka ruang untuk memahami bersama kondisi masyarakat adat dan wilayah adat berserta isinya juga keadaan atau perkembangan terkini yang mana orang-orang dari wilayah adat sendiri abai bahkan apatis akan apa yang terjadi di wilayah adatnya, merupakan hal esensial. Di sini pulalah dibahas hal itu sedemikian rupa sehingga peserta bisa memahami arah kejadian yang sudah lama menimpa masyarakat adat di wilayah adatnya dan perubahan tak kunjung ada. Dengan diskusi yang membicarakan itu pula, peserta memetik pelajaran betapa pembodohanlah selama ini yang telah menjadi badai besar melanda kampung.

Dalam hal ini pembahasan yang dibuka adalah melalui pendidikan. Terdapat pendidikan konvensional yang mana arahnya selalu meringankan langkah si pemuda adat untuk meninggalkan kampung. Untuk ini, Noer Fauzi Rachman atau biasa disapa bang Oji menyebut fenomena ini dengan “Ilmu Pergi”. Akhirnya pemuda adat kerap kali memunggungi wilayah adat, tanah kelahiran atau kampung halaman sendiri dan bersusah payah bergerak cepat ke kota. Itulah pendidikan konvensional yang dipraktikkan terus-menerus sejak masa dini, SD, SMP, SLTA hingga Perguruan Tinggi. Tidak ada pendidikan yang membuat masyarakat untuk kritis berpikir. Inilah pendidikan yang merupakan kepanjangan dari sistem pendidikan Barat di masa kolonial atau jauh sebelumnya. Sistem pendidikan ini oleh Paulo Freire, seorang pakar pendidikan asal Recipe-Brazil, disebut dengan sistem pendidikan gaya bank. Menabung terus-menerus.

Terkait itu, pendidikan populer atau pendidikan yang membebaskan merupakan berita lain dari sisi pendidikan konvensional yang dibahas. Pendidikan yang membebaskan ini dibahas dengan menyertakan materi bacaan yang wajib dibaca dan dibahas per kelompok. Kemudian dipanen dengan menarik satu kata atau kalimat terkait apa yang dipahami dari bacaan tersebut. Selanjutnya disambung dengan menjembatinya melalui lagu “Semua Orang Itu Guru”. Lagu ini merupakan cerminan dari pendidikan yang membebaskan terutama dari gagasan Paulo Freire. Lagu tersebut pun dibedah dengan menarik inti-inti dari setiap baris lagu.

Terbitan, Poster, Lagu

Hal lain yaitu membuat terbitan sendiri sebagai alat perjuangan yang bisa disebarkan secara luas. Terbitan ini merepresentasikan dokumentasi tertulis yang bisa digarap sederhana, murah, cepat dan menjadi corong perlawanan yang muncul langsung dari masyarakat adat itu sendiri. Pengerjaannya pun asyik dan dilakukan bergotong royong.

Isi terbitan misalnya disepakati cukup: puisi, komik dan tulisan bebas. Lalu untuk memulainya maka dipilih topik yang sesuai dengan persoalan yang tengah dialami atau dihadapi. Setelah selesai proses penulisan atau pembuatan gambar/komik, maka dilanjut ke proses lay out atau tata letak. Untuk mengakhiri, maka tulisan atau komik diurut dan ditempel membentuk buku.

Poster adalah cara lain yang turut dipelajari dalam pelatihan ini. Poster atau seni gambar merupakan jenis perlawanan lainnya yang diekspresikan lewat seni. Untuk mencipta karya ini, langkah awal tetap sama yaitu menentukan tema yang akan menjadi acuan seluruh gambar yang akan dilukis.

Lagu juga menjadi satu alat yang bisa dijadikan alat perlawanan. Banyak lagu yang dicipta sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan sosial. Terkhusus dalam pelatihan ini, seluruh peserta dilibatkan untuk mencipta lagu. Proses ini dilakukan dengan menemukan lirik lagu secara gotong royong. Langkah berikutnya, Tole dan Sandrayati berkolaborasi untuk menemukan nadanya. Begitulah lagu diciptakan bersama dan dinyanyikan juga secara bersama sebagai wujud perlawanan masyarakat adat.

Di atas semuanya itu satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam setiap aksi adalah dokumentasi. Dokumentasi sangat penting untuk menunjukkan kepada audiens atau target sasaran. “Suatu kali kami mengadakan aksi menolak pabrik PLTU Batang. Setelah membuat poster, replika ikan, mengorganisir massa, dan lain-lain, hal terakhir adalah dokumentasi. Selain foto, kami buatkan juga videonya. Video ini kami sebarkan seluas-luasnya agar pesan masyarakat Batang sampai ke target,” kisah M. Yusuf atau biasa disapa Mas Ucup.

Meditasi

Keterpanggilan pemuda untuk mengurus wilayah adat tidaklah cukup hanya melalui pembicaraan teoritis. Setelah melewati beragam metode yang dipraktikkan langsung dalam pelatihan ini, pemuda adat juga diajak untuk mengenal tanah secara emosional dari jarak sangat dekat. Teknik ini merupakan penghayatan penuh terhadap alam.

Proses ini dilakukan dengan bermeditasi di hutan selama satu malam penuh. Jadi setiap peserta dengan masing-masing satu pondok kecil akan menjalani meditasi. Selama satu malam penuh tersebut benar-benar menjadi penghayatan mendalam terhadap alam dengan segala isinya. Dengan caranya masing-masing setiap peserta mendapat pengalaman unik.

Namun, pada dasarnya meditasi ini diperuntukkan demi mengenal alam lebih intim. Sekaligus juga untuk merefleksikan kondisi bumi yang semakin hancur dirusak oleh perusahaan ganas atau manusia serakah yang hanya mementingkan isi perut sendiri dan kelompoknya. Dengan kata lain, metode ini merupakan penajaman kepekaan terhadap penting dan sangat berharganya alam terkhusus tanah di wilayah adat. ᴥᴥᴥ

[Jakob Siringoringo]

Heli Pemadam Ladang

Resah, kecewa dan marah. Perasaan ini yang terpaksa harus dialami sejumlah warga ketika berkenalan dengan Si Heli yang dengan angkuhnya datang menumpahkan air kala mereka melakukan cara bakar membersihkan ladangnya.

Arina Enda dan Lina, dua di antara warga pemilik ladang yang turut menjadi korban kegagahan Si Heli pemadam ladang itu berkisah kepada penulis tentang peristiwa menyedihkan kala itu.

Arina Enda

Arina Enda

Enda, warga dusun Bawas di kabupaten Kubu Raya mengaku sangat hati-hati. Terlebih dulu dirinya memberi kabar kepada pengurus desa dan bahkan juga mengabarkan rencana membersihkan ladang dengan cara bakar pada pihak perusahaan perkebunan yang berada di sekitarnya.

Hari itu, Rabu 7 September 2016. Enda bersama keluarga berangkat dari rumah pukul 15.30 wib menuju ladang. Sejumlah warga dan keluarga diajak untuk turut serta membakar ladang agar lebih terkendali. Ia juga membawa peralatan untuk membantu kelancaran proses pembersihan ladangnya.

Ketika tiba waktunya membakar, ia lebih dulu menyiram sekeliling ladang yang telah dibuat sekat bakar yang dalam istilah setempat disebut nataki’. Setelah itu, api di ladang pun dinyalakan.

Baru sekitar 15 menit api menyala, Si Heli sang pemadam datang tak diundang. Juru mudi Heli pun tak sempat berkenalan, apalagi menyapa Enda yang empunya ladang. Dengan gagahnya, air ditumpahkan dan api yang saat itu menyala lantas padam. Byuuuur.

Menyaksikan atraksi Si Heli yang langka itu, sejumlah warga yang melintasi jalan Trans Kalimantan berkerumun. Si Heli seakan jadi tontonan penghibur. Ada yang melambaikan tangan dan ada pula yang mengabadikan gambar atraksi Si Heli. Padahal di balik peristiwa bom air yang dijatuhkan, Enda si pemilik ladang tertegun sedih. Diam tak bisa berbuat apa-apa. Ia pasrah sambil menahan rasa perih di dada.

Heli pemadam ladang itu berkali-kali menyiramkan air di ladang milik Enda. Hingga usai melakukan misinya, sang juru mudi Heli tak juga menyapa Enda untuk sekedar menyampaikan permisi dan terima kasih. Apalagi kata maaf.

Dalam rasa sedih dan kecewa, ibu empat anak itu pasrah menerima kenyataan yang baru dialami. Semenjak berladang, baru kali ini menerima kenyataan pahit. Ia hanya menyimpan rasa sedih, tidak tahu harus marah kepada siapa.

Heli BPBD

Helikopter BPBD

Seperti Enda, Lina juga merasakan hal yang sama ketika ladangnya disiram si Heli saat dibersihkan dengan cara bakar. Warga kampung Lingga Dalam di Kubu Raya itu pun turut merasa kecewa atas kejadian yang dialami. Ladang yang dibakar dengan sangat hati-hati yang melibatkan sejumlah warga lainnya malah disiram. Ia pun tak tahu harus berbuat apa selain merasakan kecewa dan pasrah.

Si Heli ternyata bukan hanya mahir menyiram ladang yang sedang dibersihkan dengan cara bakar. Namun juga pandai menjatuhkan bom air pada kegiatan warga yang sedang membakar kopra kelapa. Oki adalah satu dari warga yang memgalami kasus tersebut. Warga yang juga berasal dari kabupaten yang sama dengan Enda dan Lina itu, mengaku kecewa.

“Saya punya masalah pemadaman api kemarin. Saya kecewa sekali karena saya membakar kopra kelapa juga disiram pake helikopter,” jelasnya melalui pesan singkat.

Si Heli ternyata memang hebat. Karena ia bukan hanya telah menjatuhkan air serampangan pada sejumlah lokasi yang sebetulnya tidak perlu. Namun yang lebih hebat adalah sejumlah orang/pihak di balik Heli pemadam kebakaran. Kehebatannya, mereka tega untuk melakukan langkah serampangan itu dengan sangat sadar.

Bagi Enda, Lina, Oki dan masyarakat peladang lainnya, saya salut dengan kesabaran kalian. Sabar karena tindakan pemadaman tak diundang ketika Anda sedang bersihkan ladang atau juga sedang membakar kopra itu, tidak membuat amarah memuncak menjadi sebuah tindakan pembelaan diri.

Tetapi saya percaya. Bila Si Heli terus-menerus melakukan aksinya, rasa kecewa dan sedih yang Anda semua alami akan sampai pada puncaknya. Pada situasi ini, sepertinya Si Heli dan orang/pihak di belakangnya baru akan sadar bahwa tindakan pemadaman yang dilakukan menyalahi etika yang dianut komunitas. Pada situasi ini mungkin mereka baru akan sadar bahwa tindakan pemadaman serampangan telah melukai hati dan perasaan rakyatnya sendiri.

 

[Hendrikus Adam]

Bangun dari Tidur Panjang

Masyarakat adat di Murung Raya Kalimantan Tengah sebelum bergabung dalam satu wadah yang terorganisir, yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), telah membentuk Aliansi Masyarakat Adat (AMA) yang dipimpin oleh Bapak Melody bersama dengan Yayasan Bina Sumber Daya (YBSD) jaringan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalteng  yang dikepalai oleh Bapak Andreas N.J Udang, M.Sc pada 1999.

Beberapa waktu setelah itu atau 17 Maret 1999 terbentuklah AMAN di Jakarta. Kemudian pada 2006 dilaksanakan Musyawarah Wilayah I Kalimantan Tengah di Palangka Raya. Hanya saja sejak 2006 sampai dengan 2010 tidak ada kejelasan dalam kepengurusan. Baru pada 2011 Bapak Thomas dan Bapak Odor menyuarakan hak-hak tenurial masyarakat adat Kalimatan khususnya Suku Dayak Punan di Kalimantan Tengah ke Kementerian Kehutanan dan Komnas HAM yang didampingi oleh PB AMAN di mana kala itu keduanya mengalami kriminalisasi  yang dilakukan oleh Bupati Murung Raya serta Polres Murung Raya.

Setelah melewati berbagai permasalahan, kedua aktivis  ini membentuk formateur tunggal dalam mempersiapkan Pengurus Daerah AMAN Murung Raya pada 2012. Akan tetapi pengurus hasil Musyawarah Daerah AMANDA Murung Raya itu pun  mengalami berbagai permasalahan internal sehingga kembali terjadi kevakuman organisasi sampai dengan Juli 2016. Kevakuman ini menyebabkan tidak adanya pendampingan serta pembelaan secara terorganisir untuk berbagai permasalahan di komunitas adat yang ada di daerah Murung Raya, baik itu intimidasi maupun kriminalisasi serta menurunnya pemahaman untuk mempertahankan adat istiadat, budaya dan wilayah adat yang seharusnya selalu dijaga dan dilestarikan untuk generasi yang akan datang dan juga merupakan warisan leluhur yang sangat berharga bagi masyarakat adat di daerah Murung Raya.

Adapun permasalahan yang dihadapi masyarakat adat di setiap komunitas yaitu banyaknya perusahaan tambang dan perusahaan kayu yang tidak ada sama sekali keberpihakannya terhadap masyarakat adat bahkan tidak jarang adanya intimidasi maupun kriminalisasi yang mereka alami. Bahkan masyarakat adat banyak sebagai penonton di wilayah adatnya sendiri ketika kekayaan alamnya dinikmati oleh pihak perusahaan. Sebaliknya masyarakat adat hanya menerima penderitaan semata seperti sungai tercemar, tidak dihargainya adat istiadat, konflik sesama masyarakat sendiri maupun terhadap pihak perusahaan dan aparat  keamanan.

Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Murung Raya dan Pengurus Daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara Murung Raya  mencatat kasus sebagai berikut:

1) Seperti yang dialami oleh komunitas Kuhung Kecamatan Laung Tuhup Kabupaten Murung Raya, masyarakat adatnya tidak bisa menikmati air bersih karena limbah batu bara PT. Asmin Koalindo Tuhup (AKT) dan juga hancurnya hutan yang asri.

(Sumber : Masyarakat Adat Dayak Murung, Walhi Kalteng)

2) Beberapa Komunitas di Kecamatan Tanah Siang Selatan Kabupaten Murung Raya, masyarakat adatnya banyak menerima limbah merkuri, sianida, tercemarnya sungai, berubahnya bentuk hutan yang asri menjadi kolong tambang emas (merubah sedikit bentuk bumi), berkurangnya tatanan adat istiadat, konflik besar-besaran sesama masyarakat adat maupun terhadap perusahaan dan aparat keamanan. Kejadian  ini terjadi sejak 1985: PT. Indo Muro Kencana (PT. IMK) mulai melakukan  perampasan  tanah-tanah masyarakat adat. IMK adalah perusahaan tambang emas dan perak yang mulai produksi di penghujung 1994. Semula saham IMK dimiliki oleh PT. Gunung Muro Perkasa (Nasional), Duval Corporation of Indonesia (Amerika), Pelsart Muro Pty, Ltd (Australia), dan Jason Mining (Australia). Kepemilikan saham itu terlihat dalam kontrak karya mereka dengan pemerintah Republik Indonesia dengan nomor: B-07/Pres/1/1985 tertanggal 21 Januari 1985.

Tahun 1993 saham IMK dimiliki oleh Aurora Gold (Australia) sebanyak 90% dan PT. Gunung Perkasa (Nasional) sebanyak 10%. Tahun 1997 Aurora Gold telah memiliki 100% saham IMK. Lokasi tambang IMK berada di Kecamatan Permata Intan,  Murung dan Tanah Siang, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah. Kontrak karya IMK berlaku selama 30 tahun sejak Februari 1985 s/d 2014.

Luas wilayah kontrak karya IMK adalah 47.962 Ha. Lokasi itu berada di sekitar pemukiman masyarakat Dayak Siang, Murung dan Bakumpai, termasuk di dalamnya beberapa daerah aliran sungai serta anak-anak sungai.

(Sumber: Walhi dan Pejuang Masyarakat Adat Dayak Siang, Murung dan Bakumpai)

3) Masyarakat adat Komunitas Topus, Komunitas Tujang, Komunitas Tumbang Olong, Komunitas Kalasin Kecamatan Uut Murung, masyarakat adatnya merasakan pencemaran sungai, merusak tatanan lingkungan dan sosial budaya maupun pelecehan terhadap hukum adat Dayak.

(Sumber: Perkumpulan Punan Arung Buana)

Dan ditambah lagi dengan permasalahan baru yaitu bencana asap pada 2015 yang membuat dunia internasional mengecam negara Indonesia khususnya pulau Kalimantan. Bencana asap tersebut mengintimidasi masyarakat adat yang dianggap sebagai pelaku di balik bencana tahunan itu. Padahal bencana tersebut merupakan kesalahan yang dilakukan oleh oknum perusahaan sawit dan oknum masyarakat yang sengaja membakar lahan dan bukan untuk ladang menanam padi melainkan kepentingan lainnya.

Karena tragedi bencana asap pada 2015 lalu, muncullah Instruksi Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk melarang membakar lahan dan pekarangan sesuai dengan UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 dengan ancaman hukuman pidana dan denda milyaran rupiah. Instruksi tersebut tanpa memberi pengecualian bagi masyarakat adat peladang dengan metode membakar yang sebenarnya merupakan warisan leluhur maupun penyambung hidup bagi masyarakat adat yang dilakukan secara turun-temurun dengan kehidupan sosial maupun budaya di dalamnya.

Sementara itu berladang sebenarnya dilindungi Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) No. 32/2009 pasal 69 Ayat 2. Namun, dengan keluarnya Instruksi Prsesiden, Pemerintah Daerah Murung Raya juga melaksanakannya dengan gencar melalui Maklumat bersama Polres Murung Raya. Pelaksanaannya di lapangan begitu menggebu, dilakukan oleh pihak kepolisian dan TNI dengan melaksanakan sosialisasi di berbagai kampung dan ditandai dengan pemasangan spanduk pelarangan membakar lahan pekarangan sehingga membuat masyarakat adat takut untuk membakar ladang.

Untuk menyikapi semua permasalahan mendesak tersebut, maka beberapa tetua kampung, komunitas adat, para pejuang masyarakat adat terdahulu, pemuda adat, demisioner AMANDA Murung Raya dan perempuan adat yang difasilitasi oleh PD BPAN Murung Raya bermusyawarah agar kembali berjuang bersama dalam membela hak-hak masyarakat adat dengan membentuk panitia Musawarah Daerah Luar Biasa pada 03 Agustus 2016 yang bertempat di sekretariat sementara Barisan Pemuda Adat Nusantara Murung Raya, Kota Puruk Cahu.

img_5555

Penyerahan bendera kepemimpinan

Dan kegiatan Musyawarah Daerah Luar Biasa AMANDA Murung Raya yang dilaksanakan pada 08 Agustus 2016 di Puruk Cahu berjalan sesuai dengan AD/ART AMAN serta melalui musyawarah untuk mufakat menetapkan Dewan AMANDA Murung Raya. Ketua AMANDA Murung Raya pun terpilih secara aklamasi yaitu Bapak Yansyah Udang untuk menjalankan mandat organisasi dengan masa bakti 2016 – 2021.

Pada 09 Agustus 2016 yang juga bertepatan dengan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS), PD AMAN Murung Raya dilantik oleh Pengurus Wilayah AMAN Kalimantan Tengah sekaligus mendeklarasikan AMAN Murung Raya di hadapan masyarakat adat dari beberapa komunitas Daerah Murung Raya, pemerintah daerah Murung Raya, TNI/ POLRI, Demang Kepala Adat, Ormas, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Pemuda di aula Bappeda Kabupaten Murung Raya, serta menetapkan Sekretariat Bersama yang sederhana serta apa adanya, namun penuh dengan suasana gelora perjuangan yang beralamatkan di Jln. A. Yani (Dirung Bajo) No. 29. RT. I/ RW. III Puruk Cahu.

Kegiatan pelantikan dan deklarasi ini dilaksanakan setelah kegiatan sosialisasi pemetaan partisipatif wilayah adat di Kabupaten Murung Raya yang dilaksanakan oleh PD BPAN Murung Raya bersama dengan PW AMAN Kalimantan Tengah.

Semoga dari bangun tidur panjang dan keterpurukan ini menjadikan perjuangan tanpa lelah, pantang mundur, berani dalam  membela hak masyarakat adat serta direstui oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan leluhur alam semesta.

 

Salam Adat

(Penulis Hantingan Y Udang)

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish