KMANV: Konsistensi dan Kreativitas Demi Memperjuangkan Warisan Leluhur

Tanjung Gusta, 17 Maret 2017—Sarasehan Kepemimpinan Generasi Penerus Masyarakat Adat pada Kamis (16/03) dihadiri narasumber Eliza Kissya (68) dari Pulau Haruku. Eliza yang terkenal sebagai penyair banyak menceritakan pengalamannya soal memperjuangkan hak Masyarakat Adat, serta terus mengajak untuk menjaga ekosistem laut lewat syair dan pantunnya. Baginya pantun atau puisi adalah senjata paling ampuh untuk membangkitkan semangat juang bagi Masyarakat Adat.

Salah satu pantunnya:

Ke sekolah naik bus kota

Guru kelasku Pak Hartono

Sudah merantau keluar kota

Kearifan lokal jangan dianggap kuno

 

Menurutnya, sebagai masyarakat adat harus memulai dari hal-hal kecil untuk menyelamatkan lingkungan. “Saya memulai dari hal-hal kecil menciptakan kreativitas. Menanam bakau, menyelamatkan penyu, dan berbagai ekosistem laut lainnya. Saya juga memotivasi melalui pantun,” ungkapnya dengan suara yang keras menandakan semangatnya yang tak termakan usia.

Sehubungan dengan perjuangannya terhadap lingkungan, ia juga banyak bercerita mengenai kondisi sosial masyarakat adat di wilayahnya yang masih kuat memegang nilai-nilai kearifan dan hukumnya. “Di komunitas adat saya sekali seminggu diadakan rapat pertemuan (musyawarah adat), bila ada yang tidak hadir maka akan dijemput paksa,” tegasnya.

Berlangsung kurang lebih tiga puluh menit, pertemuan ini juga diselingi diskusi-diskusi kepemudaan. “Menjadi pemimpin harus bijaksana,” sepatah kalimat motivasi Eliza menutup pembicaraannya.

Disambung oleh pembicara selanjutnya, Sekretaris Jenderal Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) Medan Alfi Syahri. Mengulas kembali pengalamannya saat memperjuangkan kampungnya dari klaim perusahaan untuk dijadikan perkebunan sawit.

Kampungnya diklaim perusahaan untuk dijadikan perkebunan sawit di Tanjung Gusta. “Sarapan pagi kami dulunya adalah rumah sakit. Karena setiap pagi saat berkumpul kami selalu dikepung dan dipukuli oleh militer di era orde baru,” pungkasnya.

Ia juga menyampaikan beberapa poin penting untuk tetap konsisten dalam perjuangan sehingga mampu mempertahankan wilayah adat.

Menurutnya sejarah sangat penting. “Kenapa kita bertahan? Karena kita punya sejarah. Seperti Sukarno ia juga mengakui pentingnya sejarah. Jangan pernah melupakan sejarah dan sampaikanlah sejarah kita pada generasi selanjutnya,” harapnya kepada generasi muda yang ikut hadir dalam kegiatan tersebut.

Selain itu ia juga mengharapkan agar pemuda tetap bersemangat, bersatu memperjuangkan haknya. Ia berharap pemuda tetap konsisten melakukan kaderisasi dan berjuang mempertahankan wilayah atas segala yang dimilikinya sebagai titipan dari leluhur.

Burhanuddin

Pemutaran Film Dokumenter dari Berbagai Negara Ikut Ramaikan KMANV

Di sela-sela Kongres Masyarakat Adat Nusantara V (#KMANV) Indonesia Nature Film Society (INFIS), Life Mosaic, dan If Not Us Then Who melakukan pemutaran film dan diskusi terkait kondisi masyarakat adat. Baik masyarakat adat yang ada di Indonesia maupun masyarakat adat di Amerika Latin.

Pada hari Sabtu (18/03) mereka memutar film dokumenter Long Sa’an yang dibuat oleh David Metcalf dan beberapa film yang dibuat oleh lembaga-lembaga adat dari Amerika Latin. Puluhan peserta hadir untuk menyaksikan film-film dokumenter yang diputar. Bertempat di Balai Adat Tanjung Gusta, Deli Serdang, Medan, film pertama menayangkan tentang perjuangan Masyarakat Adat Guna Yala, Panama. Mereka mengelola lahannya secara turun-temurun namun saat ini negara tiba-tiba mengklaim wilayah adatnya lalu memberikan kepada perusahaan-perusahaan perkebunan. Akibatnya mereka menjadi miskin dan tersingkir dari wilayah adatnya.

Selain itu, film tersebut juga menceritakan solidaritas Masyarakat Adat Guna Yala yang menjaga wilayah adat sebanyak 366 pulau terutama lautnya. Bersatu menjaga kebersihan lautnya dan tidak membiarkan sembarangan kapal untuk masuk. Bagi mereka kapal-kapal asing kadang hanya datang merusak, membuang sampah sembarangan di laut tanpa mempedulikan ekosistem laut yang berkelanjutan.

Film lainnya menceritakan kondisi sosial ekonomi masyarakat adat di Spanyol yang memiliki kearifan lokal menjaga hutan. Tidak menebang pohon besar karena baginya itu adalah sumber air untuk kehidupan. Selain kearifan menjaga hutan, juga memiliki nilai seni yang kuat. Bahkan mereka masih mampu bertahan hidup meskipun mendapat tekanan dan intervensi dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan atas wilayah adatnya.

Setelah pemutaran Film dilakukan diskusi dengan beberapa ketua masyarakat adat Amerika Latin yang hadir. Salah satunya adalah Yoan Pravia dari Honduras menyampaikan maksud kedatangannya ke Medan dalam kegiatan KMANV. Selain untuk bersilaturahmi juga untuk mendiskusikan isu masyarakat adat dunia dengan memutarkan beberapa film-film dokumenter yang mereka buat. Harapannya melalui film ini mereka bisa membangun solidaritas masyarakat adat dunia. Pravia menjelaskan kondisi Masyarakat Adat di komunitasnya yang sama dengan apa yang dialami Masyarakat Adat Indonesia.

“Masyarakat Adat di Indonesia juga mengalami penindasan, itulah yang membuat saya datang pada kongres ini. Karena saya merasa senasib sepenanggungan” ungkapnya pada sesi tanya jawab.

Prabia juga mengulas pengalamanya selama bertahun-tahun memperjuangkan wilayahnya. Disingkirkan dari wilayah adatnya, ditembaki dan bahkan adapula yang dibunuh. “Kami sudah mendapatkan pengakuan atas wilayah adat kami, tapi sayangnya wilayah kami tidak seperti dulu lagi, banyak yang telah hilang tergusur oleh pemerintah” tambahnya.

Film dokumenter Masyarakat Adat Dayak Long Sa’an di Kalimantan Utara menjadi film penutup. Film yang berdurasi selama 60 menit ini menceritakan kehidupan Philius dan suku lainnya di Long Sa’an mulai tahun 1950 hingga 2015.

“Film tersebut sengaja saya putar perdana pada KMANV agar masyarakat adat termotivasi untuk memperjuangkan wilayahnya dan mendokumentasikan segala kearifan lokalnya agar tetap abadi” ungkap David Metcalf.

David yang merupakan fotografer profesional ikut hadir KMANV hanya untuk bisa memutarkan film Long Sa’an yang baru selesai diedit. Rencananya setelah pemutaran perdana di KMANV, film ini akan diputar di Kalimantan Utara di lokasi di mana film tersebut dibuat. Kegiatan pemutaran film dan diskusi degan para pembuat filmya berlangsung hingga pukul 07.00 WIB. Pada saat sesi penutupan David memberikan beberapa foto-foto karyanya selama di Long Sa’an.

Burhanuddin

Sudahkah Nelayan Sejahtera?

Catatan Hari Nelayan Nasional 6 April 2017: hari ini diperingati sebagai Hari Nelayan Nasional yang ke 57, namun nasib para nelayan kini belum menunjukkan tanda-tanda kearah kesejahteraan.

Nasib para nelayan masih berada dalam skema kemiskinan struktural, itu terlihat dari meluasnya perampasan wilayah pesisir yang menjadi tempat tinggal dan ruang hidup masyarakat terutama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Contoh perampasan ruang wilayah kelola para nelayan tersebut adalah dengan maraknya aksi reklamasi yang didorong pihak-pihak tertentu. Selain itu, kebijakan penetapan 10 Kawasan Strategis Pariwisara Nasional (KSPN) adalah gaya baru perampasan ruang wilayah kelola para nelayan.

Perampasan ruang yang meluas oleh sejumlah pihak tersebut, sangat mempengaruhi kesejahteraan para nelayan. Karena situasi tersebut dapat mempengaruhi kondisi sosiologis nelayan dalam beraktivitas di wilayah pesisir ruang kelola mereka.

Selain 10 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional, data PB HMI Bidang Agraria dan Kemaritiman (disadur dari berbagai sumber), terdapat 25 kawasan pesisir yang direklamasi, secara kumulatif telah menggeser sedikitnya 13.433 nelayan dengan melibatkan 18.151 KK dari wilayah kelolanya.

Akibatnya para nelayan tersebut dipaksa mencari mata pencaharian lain di luar tradisi melaut yang telah ratusan tahun mereka lakoni. Di balik alih fungsi mata pencaharian tersebut, ironisnya adalah adanya peran negara yang diketahui ikut mendukung program pergeseran para nelayan tersebut.

Sejumlah fakta di atas telah menegaskan bahwa perampasan ruang wilayah kelola para nelayan telah terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif yang sulit untuk dibatasi karena adanya dukungan yang secara langsung oleh negara.

Kiranya melalui momentum Hari Nelayan kali ini mestinya dijadikan sebagai tonggak penting untuk memulai mensejahterahkan para nelayan, karena nelayan memegang peranan penting dalam mengelola wilayah perairan nasional. Berdasarkan catatan Badan Informasi Geospasial, dua pertiga wilayah laut Indonesia terdiri dari 13.466 pulau dan mencapai luas laut keseluruhan 5,8 juta km². Dengan luas wilayah lautan seperti itu, potensi perikanan yang ada di dalamnya mencapai 6,5 juta ton.

Dengan demikian yang harus segera dilakukan adalah:

  1. Menghentikan seluruh proyek perampasan ruang dengan meninjau ulang kebijakan penetapan 10 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional. Menghentikan proyek-proyek reklamasi agar dapat memastikan hak-hak konstitusional nelayan terutama nelayan tradisional
  2. Serius dan bersungguh-sungguh memikirkan kesejahteraan para nelayan dengan tidak menjadikan setiap kebijakan mengunakan logika pencitraan.

 

Mahyudin Rumata

Ketua PB HMI Bidang Agraria dan Kemaritiman

Siti Nurbaya Resmi Buka Kongres Masyarakat Adat Nusantara Kelima

Maret 19, 2017

Mewakili Presiden Jokowi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar membuka Kongres Masyarakat Adat Nusantara V (#KMANV) di Kampong Tanjung Gusta, Sumatera Utara, Jumat (17/03). Dalam sambutannya kepada seluruh peserta yang hadir, ia menuturkan bahwa pengakuan masyarakat yang dilakukan Desember tahun lalu oleh Presiden adalah proses yang panjang.

“Pengakuan ini adalah rangkaian dari perhutanan sosial yang telah diputuskan Rakernas yang dipimpin Presiden Jokowi. Saya tahu persis proses ini,” ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut Siti juga menambahkan bahwa wilayah adat yang di luar kawasan hutan sedang terus didiskusikan dan dibahas di Kantor Staf Presiden (KSP) yang harus berkoordinasi dengan banyak Kementerian serta proses artikulasi dan verifikasi wilayah adat yang terus berlangsung. Harapannya, seluruh pihak bisa bersama-sama mengatasi permasalahan ini karena telah menjadi tugas pemerintah untuk aktualisasi masyarakat adat dan perhutanan sosial.

Selain mewakili Presiden Jokowi dalam membuka kegiatan tersebut, ia juga membawakan pesannya mengenai masyarakat adat, bahwa Jokowi sudah berkomitmen mendukung Masyarakat Adat Nusantara. Pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat adalah langkah awal negara dalam bentuk implementasi dari konstitusi.

“Segala kendala akan terasa mudah bila kita menghadapi bersama, menindaklanjuti dan mengidentifikasi wilayah adat, mengembangkan perekonomian masyarakat adat serta mengatasi masalah proses hukum yang pernah terjadi di masa lalu,” ujarnya.

Ia menampakkan dukungannya kepada masyarakat adat dengan berbagai pesan yang disampaikan, serta ajakannya untuk terus mengidentifikasi wilayah adat.

“Langkah-langkah dan proses pengakuan masyarakat adat tidak perlu diragukan lagi,” katanya.

Selain itu, Siti juga menambahkan bahwa dia sudah meminta Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk memperbaharui peta-peta kawasan hutan Indonesia dan memberikan tanda kawasan hutan adat di Nusantara.

“Pemerintah sekarang ini di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi adalah pemerintah yang memberikan solusi dan memberikan dukungan terhadap perjuangan masyarakat adat kita,” tegasnya.

Sebelumnya Presiden Jokowi yang dijadwalkan hadir pada Jumat (17/03) untuk membuka KMAN V namun batal hadir. Beliau diwakili oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dan Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki. Meski banyak peserta yang kecewa, namun kedatangan keduanya tetap mendapat sambutan yang meriah.

Fernando Manurung

Wujud Implementasi Reforma Agraria

Secara garis besar ada dua model reforma agraria Pemerintahan Presiden Joko Widodo yaitu Redistribusi Tanah dan Perhutanan Sosial. Namun demikian reforma agraria yang dimaksud bukanlah hanya urusan pemerintah semata. Keterlibatan masyarakat dalam melaksanakan reforma agraria sangat penting.

Hal itu disampaikan Budiman Sudjatmiko dalam diskusi Reforma Agraria; Kepentingan Kesejahteraan Rakyat dan Kedaulatan Bangsa pada kegiatan Desiminasi pengetahuan dan diskusi reguler PB HMI Bidang Agraria dan Kemaritiman, Jumat, 31 Maret 2017 di Lantai II Sekretariat PB HMI Jalan Sultan Agung No. 25 A Jakarta Selatan.

“Reforma agraria bukan sekadar bagi-bagi tanah. Bukan juga sekadar persoalan mengatasi kesenjangan ekonomi apalagi sekadar mengatasi kemiskinan. Jauh lebih penting adalah reforma agraria punya tujuan yang transformatif untuk melahirkan, mengubah kaum tani yang lapar tanah menjadi pekerja dan enterprenuer dari tanah itu sendiri,” tegas Budiman.

Sementara itu menurut Ketua Umum BPAN Jhontoni Tarihoran yang turut memberi tanggapan dalam pertemuan ini menyatakan bahwa konflik tanah masih banyak terjadi di wilayah-wilayah adat. Masalah tata batas kepemilikan tanah masih menjadi polemik di lapangan.

“Tanah-tanah mana yang akan dibagikan pemerintah terkait dengan reforma agraria? Karena kita ketahui saat ini masih banyak persoalan tentang batas kepemilikan dan penguasaan akan tanah. Sehingga banyak terjadi konflik secara khusus di wilayah-wilayah adat,” katanya.

Hingga saat ini konflik pertanahan masih saja terjadi di berbagai penjuru nusantara. Konflik yang berkepanjangan membuat tidak adanya kepastian bagi masyarakat yang selalu berhubungan dengan pemenuhan hidupnya. Penataan batas-batas kepemilikan yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintah tanpa partisipasi masyarakat atas wilayah berpotensi menimbulkan konflik. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab ketimpangan atas kepemilikan atau pengelolaan tanah yang menyebabkan kemiskinan.

Budiman, anggota DPR RI Komisi II itu menambahkan bahwa yang namanya konflik tanah jauh lebih pelik. Perjuangan atas tanah tak jarang sampai berdarah-darah. Tanah adalah alat produksi paling dasar, terutama bagi masyarakat adat dan atau petani.

“Di mana-mana yang namanya konflik tanah itu jauh lebih berdarah. Reforma agraria berbicara soal teritori, spasial dari kacamata kaum yang paling tidak mendapatkan apa-apa selama ribuan tahun ini. Di sinilah konteksnya, di sinilah revolusionernya, di sinilah progresifnya, di sinilah transformatifnya kalau itu diserahkan,” tegasnya.

Narasumber dari Kantor Staf Presiden (KSP) Roysepta Abimanyu mengatakan bahwa dalam pelaksanaan reforma agraria, negara tidak akan mengambil lahan yang tidak bermasalah secara administrasi. Dengan demikian pemetaan sangat penting untuk menghindari saling klaim atas kepemilikan tanah.

“Dalam penerapan reforma agraria, negara tidak akan mengambil tanah-tanah HGU, Izin dan lain-lain yang tidak bermasalah secara administrasi. Tanah yang menjadi objek reforma agraria adalah tanah dengan HGU/HGB yang telah habis, tanah timbul, tanah terlantar, HGU melampaui batas legal. Maka pemetaan menjadi salah satu yang utama untuk memastikan bahwa lahan tidak ada lagi saling klaim,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Sajogyo Institute, Eko Cahyono menghawatirkan reforma agraria yang mau dipraktikkan tersebut. Ia juga menegaskan bahwa saat ini reforma agaria tidak ramah investasi. Hal itu disampaikan menyikapi Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) yang akan melaksanakan seminar dengan judul Agraria yang Ramah Investasi.

“Reforma agaria juga bukan soal tanah, namun tentang ruang hidup,” ujarnya.

Lebih lanjut dia tegaskan kalau reforma agraria itu amat konstitusional dan warisan founding fathers. Kita sudahilah bicara agraria melulu soal tanah. Tidak pernah merujuk agraria itu hanya sekadar tanah, reforma agraria juga bicara soal lingkungan hidup”.

Diskusi difasilitasi Mahyudin Rumata dan dimoderatori Departemen Bidang Agraria dan Kemaritiman PB HMI Dipo Suryo Wijoyo. Diskusi berlangsung dari pukul 14:00 sampai 17:30.

 

 

Jakob Siringoringo

Women Too Can Lead

March 27, 2017

On Sunday the 19th March, the Fifth Indigenous Peoples Archipelago Congress (KMAN) created a new history in the struggle of the indigenous peoples of the archipelago. Rukka Sombolinggi, an indigenous woman from Tana Toraja, South Sulawesi, was elected as Secretary General of The Indigenous Peoples Alliance of the Archipelago (AMAN) for the period of 2017-2022. Rukka replaced Abdon Nababan, who officiated AMAN as Secretary General for 10 years.

Before the selection process began, the entire indigenous community and membership of AMAN, deliberated in order to propose names of candidates. There were 5 candidates who passed the verification and were willing to become Secretary General of AMAN. They were Rukka Sombolinggi, Mina Setra, Eustobio Renggi, Arifin Monang Saleh and Simpun Sampurna.

During the election process on Sunday evening, each candidate conveyed their visions and missions in front of thousands of indigenous people who were present at the congress. Monang was one of the candidate who emphasized strengthening the economic organization. “We must harness the economic potential of indigenous people so that we do not become beggars,” Monang said.

Another candidate, Mina, affirmed the principle of AMAN. “I have a dream like Abdon Nababan, creating indigenous peoples who are able to become economically independent, politically sovereign and culturally dignified,” she said.

Meanwhile, Rukka also explained policies related to indigenous people. “In the future, when the Law on The Protection and Recognition of Indigenous Peoples’ Rights has been ratified, we will fight with our own shadow. Companies will hire some indigenous peoples and oppose us,” she mentioned specifically.

After the candidates presented their visions and missions, they held discussions and deliberated to choose one of them to become Secretary General of AMAN. The result was that the four candidates supported Rukka Sombolinggi as the next secretary general of AMAN. Cheers, applause and shouts of victory to the participants enlivened the electoral process. Various traditions and rituals as a form of gratitude were performed.

“The candidates deliberate and agree to support each other in order to develop and strengthen AMAN to become an organization that counts in the future” Mina said.

In her acceptance speech as Secretary General of the Indigenous Peoples Alliance of the Archipelago (AMAN), Rukka stated that AMAN will be better. “I promise that for the next five years, AMAN will still prevail and AMAN’s flag will remain fluttering,” she said.

Burhanuddin

Membangun Rencana Kehidupan untuk Keberlangsungan Hidup Masyarakat Adat

Tanjung Gusta (17/3)—Masyarakat Adat Misak berjuang untuk bertahan hidup dari ambang kehancuran. Sebelumnya mereka telah dihancurkan penjajahan Spanyol. Sejarah mereka dihilangkan, kebudayaan mereka dihancurkan bahkan bahasa mereka kini umumnya Spanyol. Padahal mereka memiliki bahasa ibu sendiri.

Demikian disampaikan Jeremias saat jadi pembicara melalui video call dalam sarasehan #RencanaKehidupanWilayahAdat (16/3). “Namun kini kami perlahan-lahan menggali sejarah leluhur atau asal-usul kami. Semuanya kami gali dan kini kami menggagas sebuah pola baru yang kami sebut Plan de Vida (Rencana Kehdidupan),” katanya.

Hal serupa juga disampaikan seorang pemuda adat dari Talang Mamak, Ratna. “Karena wilayah adat hampir habis, maka Masyarakat Adat juga nantinya akan habis. Anak cucu kami tidak akan tahu berbahasa ibu, berpakaian adat, hukum adat, pohon-pohon endemik dan lainnya,” jelasnya.

Selain Jeremias Tunubala dan Liliana Mueles, tim fasilitator juga menghadirkan narasumber Himyul Wahyu Ketua BPH AMAN Kampar Riau; perwakilan Lembaga Adat Serampas, Ishak Pendi dan perwakilan Masyarakat Adat Talang Mamak, Riau.

Di tengah-tengah masyarakat adat nusantara sendiri “virus” Plan de Vida telah mulai ditularkan. Di antaranya saat ini dimulai di komunitas adat Talang Mamak, Indragiri Hulu, Riau. Bahkan sudah berlangsung satu tahun.

Mereka mengemasnya dalam bentuk Pohon Rencana Hidup Talang Mamak. Rencana Kehidupan mereka dilambangkan dengan akar menjalar ke zaman dahulu, ke sejarah mereka sebagai masyarakat adat Talang Mamak. Istilahnya batang pohon yang kuat menjadi Jati diri, Penentuan Nasib Sendiri Masyarakat Adat Talang Mamak,  Berdaulat, Wilayah Adat, dan Lembaga Adat.

Ekonomi, Pendidikan, Kesehatan, Hutan, Budaya, Komunikasi dan Hukum Adat terangkum dalam dahan Pohon. Dilengkapi daun-daun yang rimbun, guna berlindung: air bersih, sistem pengangkutan, pekerjaan, tempat belajar, bahasa ibu, obat-obat herbal, pohon, hutan keramat, lagu, musik, makanan tradisional, gawai gadang, tawa orang tua-anak dan lain-lain.

Sarasehan yang dimoderatori Modesta Wisa, anggota DePAN (Dewan Pemuda Adat Nusantara) Region Kalimantan itu turut difasilitasi Serge Marti, Eny Setyaningsih dan Simon Pabaras dari LifeMosaic.

Selain sarasehan Rencana Kehiudupan Wilayah Adat terdapat delapan lainnya di hari kedua, Kamis (16/03), Kongres Masyarakat Adat Nusantara Kelima (KMANV). Tema-tema sarasehan tersebut adalah Kepemimpinan Generasi Penerus Masyarakat Adat,  Kelembagaan Ekonomi Masyarakat Adat, Spritualitas dan Kebudayaan, Mitigasi dan Adaptasi Bencana, Disabilitas di Tengah-tengah Masyarakat Adat, Menggugat Posisi Perempuan Adat dalam Negara dan Masyarakat Adat, Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019, serta Pembangunan Infrastruktur.

Akhir dari acara sarasehan Rencana Kehidupan Wilayah Adat, tim fasilitator dan tim panen mengajak para peserta bernyanyi bersama.

 

Fernando Manurung

Jhontoni: Sebagai Wujud Kebhinnekaan, Masyarakat Adat Harus Dilindungi dan Diakui Negara

Jakarta (04/04)—Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan baik sumber daya alam maupun kebudayaan. Kekayaan ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu wilayah yang paling dicari sejak dulu. Dengan kekayaannya, sejatinya Indonesia mampu menjadi negara yang lebih baik dari saat ini jika kekayaan alam berupa tambang, hasil hutan dan kebudayaannya dikelola dengan baik.

Di era globalisasi saat ini, identitas suatu bangsa sangat rentan untuk disabotase, sehingga masyarakat dalam suatu wilayah kehilangan identitasnya yang berakibat pada berubahnya tingkah laku, cara pandang dan bahkan sampai hilangnya adat-istiadat tertentu karena dipandang sudah usang.

Berdasarkan hal itu, beberapa waktu lalu saya bertemu dengan Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (#BPAN) Jhontoni Tarihoran untuk mengobrol bersama. Dalam kesempatan tersebut, ia memberikan penjelasan mengenai masyarakat adat yang harus dijaga dan dihormati keberadaannya.

Berikut hasil obrolan selengkapnya:

Bung, apa yang dimaksud dengan masyarakat adat?

Masyarakat Adat memiliki defenisi: masyarakat yang menempati wilayah tertentu secara turun-temurun, memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan sebagai komunitas adat.

Hukum adat? Apakah benar hukum adat memiliki posisi hukum yang lebih tinggi dari hukum nasional kita?

Sedangkan hukum adat adalah hukum yang ditetapkan oleh komunitas-komunitas adat untuk mengatur interaksi kehidupan dalam suatu wilayah adat, dan sebagai masyarakat adat yang secara turun-temurun hidup dalam suatu wilayah hukum itulah menjadi acuan dalam interaksi dengan sesama dan juga interaksi manusia dengan wilayahnya. Hukum adat sebagai kesepakatan atas suatu wilayah adat telah lebih dulu diterapkan sebelum hukum lainnya datang kemudian. Bahkan mungkin saja para pendiri bangsa mengadopsi hukum adat cikal bakal hukum nasional.

Soal posisi tinggi-rendah tentu setiap hukum memiliki posisi masing-masing.

Bagaimana seharusnya posisi masyarakat adat dalam pandangan hukum nasional?

Seharusnya ada implementasi hukum yang jelas dan tegas melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat adat. Sebagai warga negara, masyarakat adat harus diakui dan dilindungi karena berdirinya negara ini juga bagian perjuangan masyarakat adat di seluruh penjuru nusantara.

Apa keinginan/cita-cita dari kawan-kawan dalam memperjuangkan UU Masyarakat Adat?

Keinginan kami, masyarakat adat diakui dan dilindungi dengan Undang-Undang agar masyarakat adat Berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, pada 16 Mei 2013 telah membacakan keputusan Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara bersama dua komunitas masyarakat adat (Kasepuhan Cisitu, Banten dan Kenegerian Kuntu, Riau—red) yang tertuang dalam putusan No. 35/PUU-X/2012. Namun sampai saat ini belum ada regulasi dalam bentuk Undang-Undang yang implementatif.

Apakah jika masyarakat adat diakui secara hukum tidak akan menimbulkan semacam negara dalam negara?

Ada negara dalam negara, tentu tidak. Justru ketika masyarakat adat diakui dengan Undang-Undang, itu akan menjadikan bukti bahwa masyarakat adat tidak terpisahkan dari negara ini. Kami masyarakat adat adalah pilar kebhinnekaan dengan keberagaman membangun persatuan demi kedaulatan, kemandirian, martabat masyarakat adat dan negara Indonesia. Karena jika berbicara soal persatuan, kita harus menghormati keberagaman. Jika semuanya sama itu menghilangkan semangat kebhinnekaan kita.

Apa pendapat Bung Jhon mengenai masyarakat adat itu diasumsikan terbelakang secara peradaban?

Mengenai ada pendapat yang menyatakan bahwa masyarakat adat itu terbelakang adalah stigma yang dialamatkan untuk kami. Masyarakat adat itu justru maju, karena dengan pengetahuannya menjamin akan kehidupan yang akan datang. Tidak menumbalkan segala sesuatu untuk kebutuhan dan kehidupan sesaat atau sekarang saja. Jadi terkait terbelakang atau tidaknya masyarakat adat, itu harus dilihat dari perspektif yang mana.

Terakhir, terkait perjuangan masyarakat adat yang diasumsikan seolah ingin mengembalikan era feodalisme?

Oh, itu tidak benar. Karena feodalisme merupakan musuh masyarakat adat itu sendiri.

 

Arif Hidayatullah

Sekretaris Jenderal Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)

 

Pembangunan JLW Hancurkan Hutan Adat Moi Maya

Sejumlah massa yang tergabung seperti masyarakat adat Moi Maya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Pemuda Gema Maya, Pemuda Adat Moi Maya serta relawan dan simpatisan masyarakat adat mendatangi kantor bupati Raja Ampat, mendemo Bupati Abdul Faris, S.E., Rabu (29/03) lalu di Waisai, Raja Ampat, Papua Barat.

Mereka menuntut pemerintah daerah kabupaten Raja Ampat agar segera bertanggung jawab atas kasus JLW yang dibangun pemerintah daerah bekerja sama dengan PT. Klanafat Putra pada 2013 hingga 2016 yang menghabiskan APBD dan APBN sebanyak 22 Miliar Rupiah.

Dalam aksi tersebut #DewanAMANNasionalLudiaMantasan mengatakan bahwa dirinya sangat kesal dengan sistem pembangunan yang dijalankan pemerintah daerah.

“Pembangunan JLW (Jalan Lingkar Waigeored) itu menghancurkan  hutan adat. Situs budaya kami pun hilang. Tempat keramat tempat tinggal roh leluhur nenek moyang kami pun kena dampak dari pembongkaran jalan tersebut,” orasinya.

Masyarakat juga menilai banyak terjadi penyimpangan di tubuh pemerintahan Kabupaten Raja Ampat. “Banyak sekali korupsi yang terjadi di Kabupaten Raja Ampat. Oleh sebab itu kami masyarakat adat meminta Bupati Abdul Faris agar segera menjawab aspirasi kami,” tegas Yoel Ulimpa pemuda adat Moi Kelim, Malamoi.

Demikian pula salah satu kasus berat yang juga menjadi isu penting bagi masyarakat adat Moi Maya yaitu mengenai kerusakan terumbu karang.

“Kami selaku masyarakat adat pemilik hak ulayat meminta kepada pemerintah pusat, dalam hal ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kordinator Bidang Kemaritiman, pihak Kapal “MV Coledonian Sky“ dan pemerintah kabupaten Raja Ampat harus bertanggung jawab atas kerusakan terumbu karang di pulau Manswar seluas 13.522 meter persegi yang ditabrak kapal pesiar asal Inggris,MV Coledonian Sky, pada 04 Maret lalu,” tegas Ketua Dewan Adat Moi Maya Yulex Ansan.

Padahal menurut seorang pemuda asal Moi Maya, masyarakat adat selalu berpegang pada UU yang berlaku, misalnya UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup khususnya dalam pasal 1 ayat 2. Selain itu juga ada UU No. 5. Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem.

Menyikapi pemasalaan kerusakan lingkungan perampasan hak-hak masyarakat hukum adat,  dan dampak sosial di wilayah Kabupaten Raja Ampat akibat pambangunan JLW dan kerusakan terumbu karang, masyarakat adat Moi Maya Raja Ampat menyatakan sikapnya sebagai berikut:

 

  1. Pemerintah daerah kabupaten Raja Ampat harus menghentikan setiap pembangunan yang merusak ruang-ruang hidup masyarakat adat.
  2. Pemerintah daerah kabupaten Raja Ampat harus menghentikan pemberian izin baru kepada kapal pesiar yang mengantar wisatawan tanpa izin pemerintah pusat dan pencabutan izin kepada kapal pesiar yang sudah tak berlaku.
  3. Pemerintah daerah kabupaten Raja Ampat harus menyelesaikan semua konflik yang terjadi terhadap masyarakat adat dari segala aspek pembangunan yang merugikan masyarakat adat secara adil dan bijaksana.
  4. Pemerintah daerah kabupaten Raja Ampat harus membuat peraturan daerah (Perda) sesuai dengan pola/tata kelola hidup dan kearifan lokal masyarakat adat.
  5. Pemerintah daerah kabupaten Raja Ampat harus membuat kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat adat.
  6. Polda Papua Barat segera tuntaskan kasus korupsi JLW dalam anggaran APBN 2013, 2014 dan 2016.
  7. Berikan ganti rugi terhadap masyarakat adat sebesar 50% dari uang tunai sebesar 20 Miliar berdasar luasan terumbu karang yang rusak 13.522 meter persegi guna penanaman ulang terumbu karang.

 

Achel Ulimpa

Murder of Berta Cáceres Remains Unresolved

Indigenous leaders and Latin American environmentalists continue to be killed

A year ago, Berta Cáceres, Honduran indigenous environmentalist leader was killed by gunmen hired by dark powers who sought to curb the resistance of the indigenous leader and Honduras social organizations to the construction of the Agua Zarca hydroelectric dam on the Gualcarque River, vital for the survival of indigenous peoples and local communities.

 

This murder raised a wave of international outrage and has become a symbol of the resistance against projects that threaten the environment and human rights, whether hydroelectric, mining, infrastructure, agribusiness, illegal deforestation, among others.

 

In last January, in Tegucigalpa, capital of Honduras, Global Witness presented a report that shows connections between political elites, powerful businessmen and criminal organizations, and links them to the wave of violence against environmental indigenous leaders.

 

Behind the Agua Zarca project is Desarrollos Energeticos SA (Desa),  information published by the newspaper The Guardian shows that the board of directors of this company includes politicians, military and businessmen; including a high military intelligence rank – whom Berta had denounced for offering her a bribe to stop resistance – a former justice minister, as well as a manager of one of the richest banks in Central America[1].

 

A year after the death of Berta Cáceres, the intellectual authors of the killing remain unidentified. What the Honduran government has managed to do is to approve a package of legal norms that reinforce the repression against social movements and which introduce the possibility of applying the figure of terrorism to social movements.

The Civic Council of Popular and Indigenous Organizations of Honduras (COPINH) has denounced the approval of these laws in order to persecute and criminalize the social movements. This comes just as social organizations prepare several actions to demand justice for the murdered Berta Caceres.

 

Another emblematic case is the kill of Isidro Baldenegro, Rarámuri indigenous leader, who had been fighting illegal loggers for decades in the Sierra Madre of Mexico. He was murdered in the remote community of Coloradas de la Virgen, “heart of a fight of more than 30 years against the illegal loggers of the forest”, in the State of Chihuahua, Mexico.

 

Berta Cáceres and Isidro Baldenegro fights were recognized with the Goldman Prize; their death reflects the deadly reality that latin american indigenous leaders are facing while protecting the environment and their peoples rights. In 2015, 50 people were killed in Colombia, 26 in Peru and 12 in Guatemala, 10 in Honduras and 8 in Honduras, according to Global Witness.

[1] https://www.theguardian.com/world/2017/jan/31/honduras-environmental-activists-global-witness-violence-berta-caceres

By Fabio Víquez

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish