Sekolah Adat Samabue

Indonesia memiliki keanekaragaman yang di dalamnya terdapat berbagai adat istiadat, suku, bangsa, bahasa dan budaya yang terangkum dalam identitas.

Masyarakat adat sudah mendapatkan pendidikan yang bersifat formal mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi. Dalam pendidikan formal itu masyarakat adat dituntut untuk bisa membaca, menulis, mengetahui sejarah Indonesia—yang didominasi oleh sejarah kerajaan/kesultanan. Pendidikan formal dalam prosesnya mendidik mempergunakan bahasa pengantar yang diseragamkan di seluruh Indonesia: bahasa Indonesia. Selain itu, bahasa pergaulan internasional juga dikedepankan, meskipun hasilnya tidak membuat peserta didik bisa menguasai bahasa Inggris setidaknya pasif setelah menyelesaikan masa studinya.

Pendidikan formal membuat masyarakat adat bercita-cita untuk meninggalkan kampung halamannya. Anak-anak hingga dewasa berduyun-duyun pergi ke kota untuk alasan mengenyam pendidikan. Semakin mengenal kota, mereka malah ingin menetap di sana selamanya.

Dalam pendidikan formal tidak diajarkan tentang sejarah identitas asli para pelajar. Tidak pula diajarkan atau dianjurkan untuk berbahasa daerah. Dampaknya perlahan adalah adanya tanda perubahan dalam diri si perantau mulai muncul. Salah satunya yaitu mereka malu untuk berbahasa daerah. Kenyataan hari ini, bahasa daerah yang merupakan identitas masyarakat adat yang sangat melekat itu hampir jarang digunakan karena merasa malu untuk menggunakannya.

whatsapp-image-2016-09-13-at-14-55-18

Seiring berjalannya arus modernisasi yang membuat generasi muda mengesampingkan hal ini, pendidikan adat yang di dalamnya terdapat sekolah adat harus hadir di tengah-tengah masyarakat adat.

Kalimantan Barat yang memiliki banyak komunitas adat di dalamnya juga memiliki permasalahan serupa. Oleh karena itu, kami—Modesta Wisa, Dwiana Sari, Reni Raja Gukguk, Yosita, dan Katarina Ria, generasi muda adat Kalimantan Barat—berinisiatif mendirikan sebuah sekolah adat. Sekolah adat bernama “SAMABUE” ini merupakan wujud kepedulian terhadap identitas peninggalan leluhur kami. Samabue merupakan nama sebuah bukit yang dianggap sakral atau keramat oleh masyarakat adat yang berada di komunitas Binua Manyalitn. Banyak ritual adat yang dilakukan di bukit Samabue ini.  Hal ini membuat  kami, perintis sekolah adat, untuk menyepakati pemberian nama sekolah adat itu.

whatsapp-image-2016-09-13-at-14-55-26

Sekolah ini bertujuan untuk menciptakan generasi muda adat yang kreatif berbudaya, menggali kembali sejarah komunitas serta suku Dayak Kanayatn, dan mempertahankan kearifan lokal di tengah arus modernisasi.

Sekolah Adat Samabue ini berdiri pada 24 Februari 2016. Dengan struktur pengurus meliputi ketua, sekretaris, bendahara, divisi donasi dan divisi rekrutmen serta tenaga pengajar.

Saat ini sekolah adat Samabue ini sudah berjalan di tiga komunitas adat yaitu Binua Manyalitn, Binua Lumut Tangah dan  Binua Kaca dengan jumlah murid sekitar 60 orang. Sekolah Adat Samabue ini merekrut anak didik mulai dari usia 4 sampai 15 tahun.

whatsapp-image-2016-09-13-at-14-55-22

Sekolah Adat Samabue ini memiliki kelas tari tradisional, kelas sejarah yang sesuai dengan komunitas, kelas singara (bercerita) dan kelas musik tradisional. Sekolah Adat Samabue ini juga memiliki kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan di komunitas serta dengan konsep ‘’Semua Orang Itu Guru, Alam Raya Sekolahku’’.

Adapun lokasi sekolah adat ini tepat di komunitas Binua Manyalitn, Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.

~Modesta Wisa

Gotong Royong Pemikiran

Jakarta, September 2016—Gotong royong pemikiran menjadi salah satu ciri pelatihan yang sehat dan menerobos laju permasalahan. Istilah gotong royong yang biasa masyarakat kenal dalam aktivitas fisik atau bergerak ternyata sangat tepat pula kemudian diadopsi dalam diskusi.

“Gotong royong pemikiran, gotong royong pemikiran,” demikian selalu Serge Marti sampaikan dalam berbagai sesi di pelatihan yang dihelat secara gotong royong oleh BPAN, AMAN, LifeMosaic dan The Samdhana Institute.

Pembelajaran dalam pelatihan ini adalah mengenai bagaimana generasi muda masyarakat adat dapat berperan aktif dalam perjuangan untuk mempertahankan dan mengurus wilayah adat. Peserta belajar tentang rencana kehidupan, lingkaran tak terputus dari wilayah adat di masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Selama pelatihan, seluruh peserta selalu terlibat aktif. Dengan beragam metode yang disajikan fasilitator tentu sangat memperkaya bekal peserta untuk menjadi fasilitator di komunitasnya masing-masing. Metode partisipatif dan berbentuk lingkaran selalu menjadi ruang yang diciptakan untuk memulai dan melanjutkan setiap kegiatan. Efektifitas lingkaran tentu sangat terasa sekali bagi seluruh peserta dalam mengikuti pelatihan yang dinikmati dengan serius, santai, dan selesai itu.

Menurut Ibu Viktoria Mael, jenis pelatihan ini berbeda sekali dengan yang pernah ia dapatkan sebelumnya. Pelatihan ini mengantarkan peserta pada tingkat partisipasi yang maksimal sehingga setiap sesi yang memunculkan pembahasan atau masalah yang harus dihadapi selalu dipecahkan secara bersama-sama. Dalam duduk melingkar diibaratkan bahwa semua orang setara, sehingga tidak ada yang mendominasi atau malah menguasai kegiatan.

“Jadi, menurut saya ini adalah pelatihan yang sangat bagus. Sebelumnya saya bekerja di birokrasi dan mendapat pelatihan namun bentuknya hanya searah. Bahkan kita tidak punya waktu untuk menyatakan pendapat. Kita selalu hanya jadi pendengar,” tuturnya.

Berbeda dengan Ibu Viktoria atau yang bisa disapa Ibu Viki itu, Jafri pemuda adat dari Talang Mamak menyampaikan bahwa pelatihan dengan bercermin pada metode-metode yang digunakan sudah pernah ia ketahui. Hal itu ia dapat dengan turut mempraktikkan beberapa metode dalam pelatihan ini secara langsung di Talang Mamak bersama dengan Eny dan Simon dari LifeMosaic.

Sungai Utik kembali menjadi tempat penyelenggaraan pelatihan yang sudah dimulai sejak 2014. Tiga kali berturut-turut. Pelatihan ini diadakan di Sungai Utik karena sebagai salah satu komunitas anggota AMAN, komunitas ini sangat representatif untuk memancing keterpanggilan pemuda.

Komunitas Sungai Utik terletak di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Luas wilayah adat Sungai Utik adalah ± 9.453, 40 Ha, yang 80% merupakan kawasan hutan. Hampir semua penduduk Sungai Utik tinggal di Rumah Panjang (Rumah Betang) yang panjangnya ± 220 M dan dipimpin oleh seorang Tuai Rumah.

Sungai Utik merupakan salah satu komunitas adat di Kalimantan Barat yang hingga saat ini berhasil mempertahankan wilayah adatnya dari berbagai ancaman luar. Tercatat tahun 1980-an, wilayah adatnya menjadi incaran pembalakan liar dan Hak Penguasahaan Hutan (HPH). Dengan perlawanan yang kompak serta kesadaran akan pentingnya wilayah adat bagi generasi selanjutnya, mereka berhasil mengatasi ancaman tersebut dan sekarang dapat mengurus sendiri wilayah adatnya dengan lestari. Oleh karena praktek-praktek kearifan dalam mengelola wilayah adatnya, tahun 2008 Sungai Utik menerima sertifikat ekolabel atas pengelolaan hutan adat secara lestari yang diserahkan langsung oleh Menteri Kehutanan RI.

Pelatihan ini diadakan selama tiga minggu (16 Agustus – 06 September 2016). Peserta sebanyak 24, yakni para pemuda/i adat datang dari 12 provinsi yang sudah representatif dari barat sampai timur Indonesia.

[Media BPAN]

 

Jambore II BPAN Palangka Raya

Walau pun terkesan klasik, namun  Ketidakadilan yang terjadi pada masyarakat adat telah berdampak buruk bagi kaum mudanya. Banyak pemuda adat yang kemudian menjadi buruh di tanahnya sendiri karena sumber daya alamnya telah dieksploitasi secara massif oleh beragam perusahaan tambang maupun perkebunan skala besar.  Pada titik inilah, BPAN sebagai organisasi menjadi wadah kaderisasi dan perjuangan masyarakat adat di lini pemuda khususnya di Kota Palangka Raya.

Meneruskan mandat pengembangan BPAN di setiap daerah, maka Pengurus Daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara Kota Palangka Raya melakukan Jambore Daerah II dengan konsep “Kemah Pemuda Adat” selama tiga hari yaitu dari tanggal 22 s/d 24 Juli 2016 di Bumi Perkemahan Kambariat Tuah Pahoe, Kereng Bangkirai Palangka Raya yang dihadiri oleh perwakilan-perwakilan pemuda adat yang ada di Kota Palangka Raya berjumlah 12 orang. Kegiatan Jambore Daerah ini merupakan mekanisme tertinggi dalam organisasi sebagai metode pengambilan keputusan terkait pergantian pengurus organisasi. Ajang ini  digunakan sebagai momen pemilihan pengurus organisasi di mana terpilih secara aklamasi untuk kali keduanya Murniasih sebagai Ketua BPAN Kota Palangkara periode 2016-2019.

Sebelum pelantikan ketua daerah dilakukan, selama 3 hari peserta diajak melakukan serangkaian kegiatan, mulai dari seremoni, diskusi terbuka, mengenal budaya, menelusuri wilayah adat, dan merumuskan program kerja organisasi.

Jamda II Palangka Raya b

Foto bersama

Bangunan program kerja BPAN Kota Palangka Raya yang berhasil dirumuskan tersebut dialaskan dari persoalan-persoalan nyata yang dirasakan oleh para pemuda adat, seperti rapuhnya rasa persaudaraan di tingkat pemuda adat Kota Palangka Raya, sikap acuh tak acuh yang marak terjadi di kalangan pemuda adat Kota Palangka Raya dan  malu menggunakan bahasa lokal dalam percakapan sehari-hari, dan lain-lain. Berdasarkan persoalan ini maka pemuda adat perlu membangun rasa kolektivitas dan kepercayaan diri untuk berpijak pada kebudayaannya dan sikap pergaulan yang merujuk pada integritas masyarakat adat secara umum.  Selain itu, peningkatan kapasitas dalam hal pengkaderan keanggotaan dan penguatan kelembagaan/ organisasi juga penting untuk dilakukan  oleh BPAN Kota Palangka Raya

Pertemuan ini juga berhasil merumuskan Program Kerja BPAN Kota Palangka Raya. “Selain merumuskan program kerja, lewat pertemuan ini kita harus memberikan sebuah pikiran rekomendasi terkait perjuangan masyarakat adat,” kata Ketua PW BPAN Kalteng Kesyadi Antang.

Menurut Kesyadi saat ini dan seterusnya mendesak Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah untuk mengesahkan Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak  Masyarakat Adat, membentuk instansi/badan untuk pemberdayaan masyarakat adat. Selain itu juga mendesak Pemerintah Kota Palangka Raya membuat regulasi dalam bentuk Perda (peraturan daerah) untuk memperkuat dan menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 supaya hak-hak masyarakat adat semakin jelas dan bertambah kuat dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah adatnya masing-masing.

[BPAN]

Butir-butir Cerita dari Kemah Pemuda Adat Sulawesi Utara

bpan.aman.or.id – Wilayah adat adalah ruang hidup yang di dalamnya terdapat sejarah, budaya, adat-istiadat, tradisi lisan dan tulisan, kesenian, sumber-sumber kehidupan dan kehidupan itu sendiri di mana tanah dan kehidupan di atasnya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Semua ini harus dijaga, dipertahankan, diperjuangkan, dilestarikan dan diurus.

Namun saat ini masyarakat adat justru mengahadapi berbagai persoalan di wilayah-wilayah adatnya. Terjadi perampasan wilayah adat, kekerasan, dan tindakan kriminal. Negara yang seharusnya melindungi setiap warga negara justru tutup mata. Tak ada pengakuan yang tegas dan perlindungan yang nyata oleh negara bahwa wilayah adat adalah milik masyarakat adat sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 18B dan juga telah diperkuat dengan Putusan MK 35/PUU-X/2012.

Masyarakat adat menjadi korban dan ini adalah ancaman serius bagi masyarakat adat hari ini dan di waktu mendatang.

Lalu bagaimana kita menghadapi ini? Apa yang harus dilakukan oleh pemuda adat sebagai generasi penerus masyarakat adat? Bagaimana pemuda adat dapat terpanggil dan tertarik untuk mengurus wilayah adatnya? Bagaimana agar pemuda adat tetap konsisten pada komitmennya?

WhatsApp-Image-20160728(3)

Diskusi melingkar

BPAN merupakan bagian penting dari masyarakat adat sebab BPAN adalah wadah untuk mempertemukan pemuda adat di Nusantara dalam semangat yang sama, membangun kekuatan bersama sehingga tidak merasa seorang diri dalam menjaga wilayah adatnya. Mereka adalah generasi penerus sebuah kehidupan. Itu sebabnya sebagai bagian dari masyarakat adat, pemuda adat harus menjaga, mempertahankan bahkan mengurus wilayah adatnya. Karena di sanalah sumber kehidupan. Berkaca dari pemuda adat di Amazon yang gigih memperjuangkan wilayah adat mereka, di era modern sekalipun mereka tetap mengurus wilayah adatnya, seperti bisa kita saksikan dalam film Pemuda Adat Amazon.

ǂ

Malam itu purnama kedua di Minahasa! Semilir angin berhembus. Pernak-pernik alam menyambut kedatangan kami di pantai Ranowangko. Pantai timur Minahasa benar-benar surga yang meringankan langkah untuk mensukseskan kemah pemuda adat yang telah dipersiapkan.

Tiba di lokasi perkemahan, beberapa pemuda mulai mendirikan tenda dan yang lainnya ambil bagian memasak. Beberapa saat kemudian tenda sudah didirikan. Makanan pun telah terhidang. Di bawah purnama, kami makan sambil bercerita dan tertawa bersama. Ah, sungguh indah masa muda ini kawan. Kami bersyukur kepada-Nya atas kesempatan baik seperti lagu yang kami nyanyikan ini:

(…Opo Wanan’atas e Tembone se mengale-ngaley Tembone se mengale-ngaley Pakatuan pakalawiren Kuramo // kalaley u langit Tentumo kalaley un tana’ Kuramo, kalaley un tana’ Tentumo kalaley ta (in) tou Nikita tou // karia E nimapasusuat uman E nimpasusuat man // karia Wia si Opo wana natas Si opo wana natas Sia si mata u ampeleng Sia si mata u ampeleng Mahmuali wia mbawointana…)

Lagu Opo Wanan’atas adalah lagu memohon berkat umur panjang, perlindungan dan berharap kepada Yang Maha Kuasa. Kami menyanyikannya dalam ritual membuka kegiatan #Kemah Pemuda Adat #BPAN #Sulawesi Utara di pantai Ranowangko Tondano Minahasa yang dilaksanakan selama tiga hari, 20-23 Juli 2016.

WhatsApp-Image-20160728(2)

BPAN Sulut saat diskusi santai di atas pasir pantai Rano Wangko

~

Matahari terbit di atas laut, di pantai timur Minahasa. Namun sang mentari bersinar silau untuk beberapa saat saja, gugusan awan hitam tebal kemudian melenyapkannya. Pagi yang cerah berganti menjadi gelap. Bahkan seolah tak mempedulikan detak waktu, hujan mengguyur. Derasnya hujan tersebut membuat kami kedinginan. Pun begitu, kami tak habis akal dan tenggelam di bawah guyuran. Kami bernyanyi untuk menghangatkan ruang dan menyemangati diri masing-masing:

Ingatlah visi misi kita // Barisan Pemuda Adat Nusantara // bangkit bersatu, harus bersatu // tanah leluhur kita jaga pantang mundur // hei…// Pemuda Adat bangga berbudaya // jaga wilayah adat kita semua // berdiri kuat di tanah kita // para perampas kita lawan jangan ragu //

Reff: Ayolah kawan pemuda adat di seluruh nusantara // mengurus kampung beri waktumu tuk teruskan perjuangan // terus berjuang / terus berjuang // bangkit // bergerak // bangkit bergerak // bergerak // bergerak // kita berdaulat mandiri bermartabat // terus berjuang // terus berjuang // bangkit // bergerak // bangkit bangkit // bergerak bergerak // sampai menang kita masyarakat adat 2x

Mars BPAN berkumandang keras seolah ingin mengalahkan suara hujan saat itu. Suasana bertambah seru karena kami kedinginan, namun tetap tersenyum duduk dalam lingkaran. Kami memilih melingkar utuh agar semangat terhubung satu dengan lainnya sehingga menjadi kekuatan besar melawan cuaca. Waktu pun terus berjalan, hujan deras tak berhenti seperti ingin terus bersama dalam kemah pemuda adat ini.

Meskipun demikian, semangat kami tetap panas. Kami meneruskan aktivitas yang telah tersusun setahap demi setahap sembari mengopi. Ya, kopi memang paling setia. Berdiskusi tentang tanah dan gerakan sambil minum kopi dan makan singkong rebus di bawah tenda di pinggir pantai membuat suasana tambah asyik dan makin akrab. “Pemuda adat…bangkit, bersatu, bergerak mengurus wilayah adat,” sesekali pekik semangat ini menerobos kesewenangan derik hujan.

~

Pagi kedua, matahari dengan gagah naik perlahan di atas laut tanpa malu-malu. Matahari ini sebenarnya menunjukkan apa tujuan hidup kita. Karena cahayanya yang penuh semangat mengajak kita untuk selalu semangat dan terus bersemangat.

Hari baru yang indah. Satu per satu peserta mulai bangun sambil sesekali mengusap mata karena masih terasa ngantuk. Meski terasa berat untuk bangkit, namun kami berniat untuk menyambut pagi dan menyaksikan gelombang laut, gemericik air, burung-burung mengangkasa dan embun di pagi hari yang tak bertahan lama karena akan segera habis disedot sang fajar.

Tanpa menyianyiakan kesempatan, meskipun masih sangat pagi, para pemuda adat mulai membersihkan sampah di bibir pantai sebagai wujud cintanya terhadap lingkungan. Usai bersih-bersih, kami melanjutkan kegiatan dengan bermain benteng. Permainan sekaligus olahraga pagi.

Benteng adalah permainan tradisional di mana secara bergantian menjaga benteng sekaligus mencari lawan untuk menggantikan si penjaga awal. Benteng adalah perlindungan, jika sudah menyentuhnya si pencari tidak bisa apa-apa lagi, sambil menunggu lawan mainnya keluar dari bentengnya.

“Talalu jao ngoni pe benteng (terlalu jauh benteng kalian),” seru salah seorang dari kami. Pemuda adat bermain permainan tradisional benteng. Saat Pokemon Go merajalela, kami pemuda adat asyik bermain permainan warisan leluhur kami. Dan ini tidak memakan kuota internet. (hahahahaha).

WhatsApp-Image-20160728

Saat melepas penyu

Pagi pilihan itu juga menjadi satu kesempatan langka bagi kami. Sebuah pengalaman berharga dan beruntung. Betapa tidak, saat kami terlelap telur penyu menetas. Telur-telur tersebut menetas tidak pada waktunya. Sangat istimewa. Alam yang sangat seimbang dan berpelukan dengan jiwa kami. Sebanyak 17 ekor bayi Tukik (penyu) kami lepas ke laut sebagai tempat dia hidup. Kami pun berharap mereka tetap hidup lalu berkembang biak mengingat ini adalah hewan langka sama halnya dengan dinosaurus.

Matahari meninggi. Kami teruskan kegiatan kemah. Pagi yang berbahagia kami lanjutkan memasak. Terdapat tiga kelompok memasak yang dibagi sama rata. Kelompok dua, setelah dimufakatkan, mulai menyiapkan bahan makanan untuk dimasak. Kelompok masak ini dibuat agar kita dapat belajar tentang kepemimpinan kolektif.

Setelah masakan tersaji, kami pun makan. Makanan yang disajikan selalu makanan khas dari Sulawesi Utara seperti Ikan Roa, Cakalalang Fufu sampai Ragey.

Usai makan kami sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang tidur, mandi di pantai, bermain gitar dan bercerita. Sambil mengumpulkan tenaga untuk berjalan menyusuri mata air Ranowangko dan menanam pohon, kami berdiskusi dengan model warung kopi dunia. Apa makna wilayah adat bagimu? Lalu apa peran pemuda adat dalam menjaga wilayah adatnya.

Setelah itu, kami mulai menyusuri mata air Ranowangko. Saat menuju ke mata air, kami mulai menanam Mahoni. Menanam pohon ini sebagai bentuk aksi kita terhadap hutan yang gundul. Menanam pohon adalah bagian dari menjaga bumi. Satu pohon sama dengan satu kehidupan. Mari menanam anak muda!

WhatsApp-Image-20160728(4)

Pemuda adat menyusuri mata air Ranowangko sambil menanam bibit pohon

Akhirnya malam tiba, api unggun menyala. Suasana di pantai semakin romantis dengan desiran angin dan suara debur ombak. Wow…! Janji pemuda adat diucapkan untuk semakin meneguhkan komitmen dengan diri sendiri sambil memohon restu para leluhur untuk menjaga wilayah adat. Dan beginilah cara kami anak muda menemukan ide bersama dan membangun komitmen. Kembali menyatu dengan alam. Alam terbuka tanpa sekat ruang yang membatasi ekspresi para pemuda.

Dalam kesempatan ini juga, kami sempat mengobrol dengan penatua kampung. Namanya Opa’ No. Beliau biasa disapa demikian. Sosoknya ramah dan sangat respek terhadap anak muda, terlebih yang mencintai budaya leluhur atau adat istiadat. Dia berpesan kepada pemuda adat bahwa jikalau mau mengurus dan menjaga kampung, harus memiliki kepekaan yang kuat atau kuat dari dalam diri. Selanjutnya penatua murah senyum ini menasehati kami dalam hal belajar, anak muda harus belajar kepada yang tua. Tapi tidak juga sembarang tua, harus pula yang tau.

Undangan dan ajakan dari #Ketua Umum BPAN Jhontoni Tarihoran menyempurnakan malam hari itu: Wilayah adat adalah sumber hidup dan kehidupan itu sendiri.

Jadi, wilayah adat harus dijaga karena itu jatidiri kita. Wilayah adat harus dipertahankan karena itu kehidupan kita. Wilayah adat harus diurus karena itu adalah kita.

ǂ

“Sulawesi Utara adalah tempat orang termahsyur,” demikian menurut budayawan Minahasa Mner Fredy Wowor. Katanya lagi, yang paling penting adalah keterikatan atau kesatuan. Dia mengharapkan adanya kesatuan para pemuda adat di Sulawesi Utara dalam menjaga wilayah adatnya.

WhatsApp-Image-20160728(1)

Diskusi selalu duduk melingkar bulat

Suku bangsa yang berbeda tidak seharusnya membuat kita terpisah-pisah. Karena terpisah itu lemah. Siapakah masyarakat adat? Bagaimanakah masyarakat adat? Apa AMAN? Berbicara tentang gerakan masyarakat adat tentu tidak lepas dari perjuangan akan hak-hak yang menimbulkan konflik. Tetapi ketika semangat masih ada, kebersamaan kuat, berpikir sebagai masyarakat adat maka kita pasti akan berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya.

“Apakah ngoni masih suka lia Minahasa 10 tahun mendatang? Kalo masih suka, maka jaga Minahasa dari sekarang,” kata Matulandi Supit saat berbagi pengalamannya.

[Nedine Helena Sulu]

BPAN Akan Melaksanakan Kemah Pemuda Adat Se-Region Kalimantan

oleh Bakti Yusuf Irwandi

 

Jakarta (30/6/2016) – Dalam rangka memperkuat gerakannya untuk berpartisipasi dalam pembangunan Kalimantan yang lebih baik dalam konteks mempertahankan budaya adat Dayak Kalimantan, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Region Kalimantan akan menggelar sebuah kemah bersama. Kegiatan ini disebut Kemah Pemuda Adat Region Kalimantan.

Hal ini dikonsolidasi dan dimusyawarahkan para peserta konsolidasi yang terdiri dari BPAN Kalteng, BPAN Kaltim, BPAN Kaltara dan BPAN Kalbar di Sekretariat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah (Kalteng), Palangka Raya, Rabu, 29/06/2016.

20160629_162555

BPAN se-Kalimantan sedang bermusyawarah (1)

Modesta Wisa Dewan BPAN Region Kalimantan menyampaikan rencana kegiatan Kemah Pemuda Adat ini dalam rangka menindaklanjuti hasil Rapat kerja nasional (Rakernas) II BPAN pada 15-17 Maret lalu di Jakarta.

“Kemah untuk mempertahankan adat istiadat, menggali jejak leluhur/sejarah leluhur, pekan pemuda adat, seminar/dialog publik kebudayaan. Intinya memperkuat, memelihara dan mengembangkan budaya supaya masyarakat bermartabat secara budaya,” ujarnya.

Menurut Kesyadi Antang, kegiatan se-region ini akan menjadi yang pertama kali dilaksanakan di Nusantara. Kemah ini ditargetkan akan diikuti sebanyak 100-200 pemuda adat se-Kalimantan.

“Kemah Pemuda Adat bertujuan, salah satunya, untuk menjalin komunikasi terkait dengan isu-isu yang ada di daerah dan saling memberikan kontribusi pemikiran untuk kemajuan masing-masing BPAN di tiap daerah serta membahas isu-isu ketahanan budaya baik untuk Kalteng, Kalimantan maupun nasional,” ujar  Ketua BPAN Kalteng ini.

20160629_162944

BPAN se-Kalimantan bermusyawarah (2)

Dalam hal ini, bentuk keterlibatan konkret pemuda adat yaitu secara bersama berpartisipasi dalam pembangunan nasional terutama untuk memperjuangkan wilayah adat sesuai amanat Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 tentang #hutan adat bukan (lagi) hutan negara.

Untuk lokasi Kemah Pemuda Adat ini dijadwalkan berada di kawasan Air Terjun Tosah, Puruk Cahu Murung Raya, Kalimantan Tengah. Dengan demikian, kemah bersama ini untuk pertama kali akan digawangi oleh BPAN Murung Raya.

Ini bentuk untuk tetap memelihara kemartabatan budaya dan mengingat juga bahwa Murung Raya secara budaya dikenal sangat kuat seperti terlihat dalam Festival Isen Mulang Kalteng yang secara berturut mendapatkan juara satu selama delapan tahun terakhir ini termasuk di tahun 2016. Sehingga hal ini akan terus dikembangkan dan perlu dipromosikan sebagai kekuatan Masyarakat Adat menjunjung tinggi budayanya.

Kearifan Lokal: Gawai di Talang Mamak

oleh Samrizal

 

Salah satu tradisi Masyarakat Adat Talang Mamak adalah adat pernikahan atau yang disebut gawai. Perhelatan gawai di 2016 ini, misalnya diadakan tepatnya di Desa Talang Jerinjing, Kecamatan Rengat Barat, kabupaten Indragiri Hulu, Riau 22-29 Juni 2016. Dalam gawai kali ini terdapat dua pasang pengantin yang tengah mengikat janji sehidup semati.

Pernikahan orang Talang Mamak menurut adatnya selalu menampilkan tradisi menarik berupa atraksi. Atraksi ini serupa berarak melingkar di mana kedua pasang mempelainya diangkat di pundak dan diikuti oleh para batin dan mangku-manti (orang khusus/pengawal) batin khususnya dan diiringi juga oleh kaum perempuan. Menariknya tradisi adat ini diikuti dengan musik tradisional, seperti Gendang, Tawak Tawak dan Celempong. Di tengah-tengah lingkaran ini ada pula dua orang basilat pangian (silat pangian).

[embedyt] http://www.youtube.com/embed?listType=playlist&list=UUXEWNbiCz_IVNoYgk1xxXbA[/embedyt]

Setelah habis berarak, batin dan pemangkunya berjalan menuju tangga naik rumah dan diikuti oleh para pengantin dan masyarakat. Sampai di rumah, makanan untuk disantap makan siang sudah tersedia. Dalam duduk bersila saat makan, barisan mempelai dipisah: mempelai laki-laki berada di depan dan pengantin perempuan duduk di belakang pengantin laki laki. Tidak hanya pengantin, orang yang disunat rasul juga ikut serta makan.

Usai makan sama para batin, pengantin dan batinnya makan sirih yang dicampur dengan pinang ,tembakau dan gambir menurut kebiasaan adat-istiadat orang Talang Mamak. Kemudian masing-masing bisa duduk di mana saja, kecuali batin karena mereka punya aturan tersendiri: batin harus aktif duduk di lapik atau tikar kecil yang ukurannya satu meter persegi, karena tiap menit atau jam harus makan sirih bersama pemangku dan mangku-mantinya serta tamu dari pihak perempuan atau laki-laki yang menggelar pesta.

Di sisi lain tidak hanya atraksi berarak memangku para pengantin sambil berputar mengelilingi sepasang pesilat. Di luar arakan melingkar tersebut diadakan pula sabung ayam. Jumlah ayam yang tengah disabung biasanya ada 80 pasang atau 160 ekor. Dalam sabung ini masing-masing kaki ayam yang disabung dikasih pisau yang sangat tajam. Adu ayam ini berlangsung sepanjang hari, jeda sejenak saat makan siang.

Tugas Penelitian, Pesan Para Leluhur

oleh Jakob Siringoringo

Leluhur masyarakat adat di nusantara meninggalkan sejumlah tugas kepada generasinya. Salah satunya adalah penelitian. Loh kok?

Leluhur yang hidup jauh pada ratusan tahun yang lalu dalam kehidupan sosial politiknya selalu berkarya. Karya-karya yang mereka ciptakan bisa dilihat dalam beberapa wujud, salah satunya adalah bangunan. Bagaimana sebuah rumah dibangun dengan kecakapan teknik yang memiliki rahasia dalam pembuatannya. Rahasia dalam arti berbalut ritual atau tradisi kultus budaya yang menjadi ekspresi mereka dalam berienteraksi dengan alam.

Masyarakat adat Batak, umpamanya, menciptakan rumah adat yang dikenal Ruma Batak atau Jabu Bolon. Pada Jabu Bolon terdapat filosofi yang melekat pada berbagai ornamennya yang dianggap mistis. Selama ini jarang dibicarakan atau dipertanyakan sebab telah dianggap kurang penting, khususnya dalam zaman yang mendahulukan kepentingan ekonomis ini. Ada beberapa ornamen yang bisa dilihat melekat pada Ruma Batak dan setiap ornamen tersebut memiliki akar atau pangkal ide dalam penciptaannya yang bersumber dari keadaan alam sekitar. Dengan kata lain, masyarakat adat Batak pada dasarnya adalah materialis. Berikut akan kita lihat beberapa di antaranya.

Batahan atau Pasak penyangga dinding. Batahan yang berukuran sangat kecil jika dibandingkan dengan yang diembannya dalam kesempatan ini saya jadikan sebagai ornamen pertama yang perlu kita ketahui dari Ruma Batak. Pasak kecil tersebut berada di antara dinding yang mereng, namun di sisi dalamnya diapit pada dinding miring dengan dinding lantai yang berfungsi sebagai kancing atau pengunci dinding miring yang juga menyangga atap sehingga tidak ambruk. Perlu diketahui bahwa atap Ruma Batak yang berbentuk kerucut itu menjulang tinggi seakan menyembah langit. Dengan kayu-kayu panjang dan banyak yang membentuk kerucut tentu memiliki berat yang tidak tanggung-tanggung. Beban inilah yang ditanggung dinding yang miring tadi. Sama sekali tidak rubuh atau goyang apalagi ringsek.

Fungsi batahan yang menjadi pengunci beban tadi sangatlah merupakan sebuah kekuatan rahasia yang jika diyakini sekilas dari sudut pandang rohani pasti dianggap mengandung kekuatan mistis. Daya mistis yang tak terlihat itu bahkan bisa menjadi pembenaran yang terus dijaga dan kemudian pandangan bergeser menjadi aneh atau negatif seiring datangnya konsep keyakinan dari luar, khususnya Timur Tengah yang sensitif terhadap upacara, ritual atau tradisi yang bersanding dengan alam—dalam praktiknya di bumi nusantara.

Karena itu pandangan ini mencoba memberi penjelasan tentang pasak yang memang memiliki kekuatan mistis tak terkira atau hampir tidak masuk akal itu. Pasak tersebut ialah kunci yang memang jadi perkakas terakhir dari susunan rangka yang telah dibentuk sedemikian rupa membentuk ciptaan yang berfungsi maksimal dan diperuntukkan pada usia yang melebihi 100 tahun. Perkiraan saya bahwa sebelum menemukan rumus yang tepat saat membentuk kerangka dinding yang menjunjung atap itu, leluhur masyarakat adat Batak pasti telah mengalami percobaan yang berulang-ulang. Dengan demikian, kreasi ini memang didasarkan pada perhitungan yang matang dan akurat. Bagi saya, kreasi ini dapat dijelaskan demikian. Tentu saja untuk menjangkau keterangan lebih akurat dan meyakinkan, ini bisa dirujuk pada para arsitek yang pernah melakukan penelitian atau lebih jauh yakni yang fokus menelitinya secara saksama dan dalam waktu yang telah teruji.

Berikutnya ada yang disebut dengan singasinga. Nama singa tentu bukan sesuatu yang asing kita dengar. Singa telah sangat lumrah dalam pengenalan kita akan nama-nama binatang. Singasinga jelas berbeda dengan singa yang dalam bahasa Inggris disebut lion. Untuk urusan nama ini tidak kurang hebatnya perdebatan di antara orang-orang Batak yang memang menyangsikan istilah ini sebagai nama yang ada tersendiri dalam keseharian masyarakat adat Batak. Tentu penjelasan bukan tidak ada dari pakar terkait perdebatan khususnya yang meragukan adanya nama ini dalam kosa kata Batak. Pakar filolog asal Jerman, Uli Kozok misalnya memberikan uraian mengenai istilah singasinga ini. Sebab tidak hanya singasinga yang menjadi ornamen dalam Ruma Batak yang menjadi perdebatan bagi banyak orang Batak khususnya di media sosial dewasa ini. Singasinga juga menjadi persoalan sebab ia identik dengan sosok raja yang sudah dikenal luas bahkan dikenal pula sebagai pahlawan nasional: Sisingamangaraja XII.

Tampilan singasinga dalam wajah Ruma Batak memang terlihat cukup aneh sebab wajahnya yang memang ditonjolkan ke depan dilengkapi dengan warna khas Batak (merah, putih, hitam). Bagi masyarakat Batak dewasa ini, khususnya yang sudah mengenal agama samawi, simbol itu juga terasa magis. Dan satu lagi kembali ke persoalan penamaan tadi, bahwa singasinga ini memang sama sekali tidak memiliki kemiripan dengan singa sesungguhnya seperti binatang yang banyak terdapat di Afrika itu.

Singasinga ini pada dasarnya merupakan penjaga rumah yang memang terlihat diam dan seolah tidak bernafas. Singasinga ini sendiri merupakan jelmaan simbol dari belalang yang memang sifatnya kerap mengelabui pemahaman. Mengelabui, yakni saat kita melihat seekor belalang terdiam pada satu wadah, kita kerap akan mengiranya mati dan dengan semudahnya kita bisa menangkapnya. Khayalan itu ternyata kerap menjadi imajinasi yang menjengkelkan, sebab belalang tiba-tiba akan melompat sewaktu kita hendak menyentuhnya karena kita anggap mati. Memang binatang berwarna hijau ini kalau terdiam benar-benar tak bergerak.

Di sisi lain, ini yang paling penting, bahwa singasinga menyimbolkan kemandirian pemilik rumah. Analogi dalam bahasa Batak menerangkan: metmet pe sihapor dijujung do uluna (sekalipun badan belalang kecil, kepalanya tetap dijunjung). Analogi ini menjelaskan bahwa sekalipun kondisi dan status sosial pemilik rumah tidak terlalu beruntung, namun harus selalu tegar dan mampu untuk menjaga integritas dan reputasinya (R. B. Marpaung dalam Nilai Filosofi Rumah Adat Batak). Filosofi inilah yang diterapkan pada singasinga dalam assesoris Ruma Batak.

Sebetulnya setiap ornamen dalam Ruma Batak memiliki penjelasannya tersendiri. Semuanya pula bersumber dari materi-materi yang terdapat di alam sekitarnya. Gorga atau seni ukir Batak, misalnya bersumber dari pohon dan tumbuhan yang terdapat di alam sekeliling. Pohon dimaksud yaitu Harihara atau sering diucapkan Hariara. Pohon ini bahkan memiliki filosofi tersendiri yang memiliki penjelasan panjang. Jadi tidak seperti sekarang ini, Hariara dianggap keramat dan malah menakutkan atau terlebih lagi bertentangan dengan keyakinan yang sudah dianut saat ini. Demikian juga tumbuhan yang menjadi inspirasi lekukan dalam gorga. Salah satu yang paling umum adalah bunga pakis yang melekuk di ujungnya. Dalam bahasa Batak disebut silinduang ni pahu. Tumbuhan ini menjelaskan bahwa motif tersebut menjadi perlambang betapa indah dan jauhnya pencarian perjalanan hidup (tentatif). Dan setiap gorga, uniknya, tidak pernah memiliki arah maupun jenjang yang sama.

Berbicara mengenai gorga ini, tim dari Bandung Fe Institute memperoleh pola-pola matematis. Ornamentasi ini menurut mereka bersifat fraktal: geometri kontemporer (Jejak Matematika dalam Ukiran Gorga Batak). Pola yang mereka kembangkan ke komputer ini menunjukkan bahwa perhitungan terhadap pola ini benar-benar berakar kuat sehingga ia terbentuk tidak sembarangan. Karena itulah motif gorga tidak menciptakan efek negatif atau selalu mengasumsikan wujud mistis yang kerap dianggap tidak lagi bersesuaian dengan kehidupan masyarakat modern. Padahal, gorga itu sendiri adalah karya yang didasarkan pada logika matematika yang memang rumit, bukan mistis semata sehingga dinilai menakutkan. Sesungguhnya penelusuran yang tak kuat atau bahkan tak ada terhadap ornamen inilah yang menutup akses penjelasan yang sebetulnya menjadi rahasia dari karya yang sangat indah ini. Dengan kata lain, gorga adalah karya tangan yang didapatkan melalui pendekatan logika atau matematis, bukan atas ilham yang turun dari wujud tak terlihat.

Di Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat adat Khonjo di Sinjai, ada sebuah rahasia atas ketahanan bangunan rumah adat mereka. Konon cerita magis yang muncul menjelaskan bahwa pohon yang ditebang dari hutan untuk membuat rumah adat terlebih dahulu diritualkan. Tujuannya tentu agar kayu yang dipergunakan untuk membuat rumah adat tersebut kebal terhadap segala cuaca, sehingga tahan lama hingga beratus tahun.

Adapun penjelasan dari ritual tersebut adalah bahwa pohon yang ditebang bakal jadi material bangunan tersebut terlebih dahulu diendapkan di kebun tembakau. Jadi kayu yang telah dibentuk sedemikian rupa itu dibiarkan siang dan malam di tengah-tengah tembakau. Rahasianya ternyata adalah air tembakau yang berjatuhan kepada kayu tadilah yang menyebabkan kayu tersebut tahan lama. Rupanya air tembakau tersebut sangat ampuh untuk menolak segala macam binatang penghancur kayu juga terhadap segala macam cuaca yang silih berganti. Dengan demikian, resep ini menjadi penjelasan yang diterapkan dalam ritual yang telah disepakati dan menjadi tradisi masyarakat setempat.

Dengan kata lain, bahwa rahasia ketahanan kayu yang menjadi material rumah adat Khonjo tidak terutama pada aspek ritual yang memang diciptakan. Sesungguhnya penjelasan logis dengan memanfaatkan air tembakau tadi adalah rahasia yang mengantarkan kepastian bahwa kayu tidak lapuk. Penemuan inilah yang menjadi rahasia masyarakat adat Khonjo dalam menjaga ketahanan kayu mereka. Hasilnya jelas: rumah adat mereka bertahan ratusan tahun.

Sesungguhnya banyak lagi pengetahuan masyarakat adat yang bisa didaftar dan dibahas satu per satu yang untuk tulisan singkat ini cukup dulu beberapa contoh yang sudah disebutkan. Pada intinya maksud dari penulisan ini hendak memberitahukan bahwa setiap kekayaan tradisi masyarakat adat di nusantara memiliki penjelasan logis yang kerap selama ini dinafikan. Akibatnya penelusuran atau mencari tahu ilmu itu sendiri terabaikan. Masyarakat beragama (samawi) saat ini telah lebih mengedepankan peribadatan yang menjunjung langit, namun abai terhadap lingkungan sekitar. Adapun doktrin untuk tidak menduakan Sang Pencipta dimaknai secara terpaku dan tidak bisa dicabut apalagi digugat.

Akibatnya jelas masyarakat adat yang telah memeluk agama samawi tadi benar-benar memunggungi identitas awalnya. Mereka bertolak dari kebudayaan leluhur yang telah membuat mereka ada atau memberi nafas. Mereka memutus rantai keterkaitannya dengan leluhurnya. Dengan negasi ini benar-benarlah alam ditiadakan dari pengamatan atau perhatian, sebab dianggap telah bertentangan dengan asumsi yang ditanamkan secara mendalam oleh agama samawi. Padahal mereka hidup di alam. Kesadaran mereka semakin lama semakin memudar. Tak heran pola pikirnya juga mengikuti pola pikir kebudayaan kapitalis yang dekat dengan sifat eksploitasi. Jiwa ekonomis yang pula tertanam bersamaan dengan paham eksploitatif tak terhindarkan menjadi corak budaya masyarakat sekarang. Inilah realita yang menyebabkan ruginya masyarakat adat itu sendiri, sebab mereka telah menegasi identitasnya sendiri yang dinilai berbalik 180 derajat dengan iman samawinya.

Betapa kaya dan beruntungnya masyarakat adat sesungguhnya jika tidak mudah meninggalkan kebudayaan atau identitasnya sendiri. Namun demikian, tantangannya sekarang ini tidak lagi mempertentangkan masuk surga atau neraka. Leluhur masyarakat adat yang arif dan bijaksana tidak mengedepankan wacana abstrak itu, melainkan telah dengan mantap pula meninggalkan jejak peradaban mahakarya yang patut kita lestarikan. Tugas kita juga tidak hanya melestarikan, namun meneliti sehingga pengetahuan mereka terus berlangsung bahkan semakin ditingkatkan. Inilah yang selama ini tidak kita sadari. Diskusi ini mencoba menarik kesimpulan bahwa tugas kita saat ini adalah meneliti pengetahuan yang telah dimulai dan dicipta leluhur. Bukan malah menegasi atau tidak mempedulikannya. [ ]

 

Patroli Hutan Adat

oleh Samrizal

Jakarta (18/6/2016) – Pemuda adat Talang Mamak melanjutkan proses pencarian identitas mereka atau yang biasa disebut Menelusuri Jejak Leluhur. Kali ini, mereka bergerak ke komunitas Dubalang Anak Talang, Talang Mamak Indragiri Hulu Riau. Di sana mereka melakukan patroli hutan adat sekaligus membuat film selama dua hari 15-16 Juni 2016. Rombongan Menelusuri Jejak Leluhur ini terdiri atas BPAN Talang Mamak, Pemuda Sembilan Dubalang Anak Talang dan dua orang dari Hakiki, sebuah organisasi yang memiliki kepedulian terhadap kondisi masyarakat adat di Riau, Ari dan Kidung.

Baca juga: BPAN Talang Mamak, Bergerak Meninggalkan Alasan Tak Produktif

“Patroli hutan adat yaitu meninjau hutan, ingin tahu rusak atau tidak,” kata Jony Iskandar, salah satu anggota Pemuda Sembilan, saat dikonfirmasi lewat telepon, Sabtu (18/6).

BPAN Talang Mamak Patroli Hutan Adat

Rombongan patroli sedang beristirahat. [Dok. Arwan Oscar]

Dalam patroli hutan adat ini mereka menemukan beberapa potensi alam yang indah. Potensi dimaksud merupakan gambaran hutan alami yang terjaga dengan siklus kehidupan manusia, binatang, dan lingkungan berkaitan erat. Hutan adat alami ini menjadi satu contoh bagaimana alam lestari yang membuat manusia hidup dalam alam yang indah dan berkecukupan. Sudah rahasia umum bahwa alam lestari laiknya dalam gambaran itu sudah sulit ditemukan sekarang ini.

Menurut penuturan Jony patroli hutan adat ini sudah berlangsung sejak 2013. Namun selama itu masih berkisar memperhatikan kondisi hutan. Belakangan muncul ide untuk mendokumentasikan kondisi terkini hutan adat dalam bentuk video.

Tidak jauh dari hutan adat yang bisa menjadi rujukan sebagai hutan lestari yang berjabat erat dengan masyarakat adat, itu ternyata kerusakan hutan pun sudah merambat. Adalah PT. Sinaga yang turut merusak hutan adat Dubalang Anak Talang. PT. Sinaga setidaknya telah membabat hutan adat seluas 800 hektar.

Juga kerusakan hutan terjadi di sekitar Air Abadi seluas 60 hektar. Kerusakan lain terdapat pada tiga gua yang merupakan hulu sungai: Sungai Pompang, Sungai Kandis, dan Sungai Ulu Tenaku. Ketiga gua dan Air Abadi ini merupakan sumber mata air bagi masyarakat Dubalang Anak Talang. Mata air ini sangat vital bagi keberlangsungan hidup masyarakat adat Dubalang Anak Talang. Bisa dibayangkan jika dalam sewindu atau satu dekade ke depan masih terus dilanjutkan perusakan hutan bakal terjadi kekeringan di komunitas Dubalang Anak Talang.

13432143_1721049864827201_3835412456417822163_n

Sungai Pompang [Dok. Arwan Oscar]

Arwan Oscar, anggota BPAN Talang Mamak yang sekaligus merangkap biro Infokom AMAN Indragiri Hulu (Inhu), melihat kerusakan hutan adat tersebut, ia pun bergerak cepat bersama-sama pemuda adat Talang Mamak lainnya melakukan aksi. Dalam kerja-kerja Menelusuri Jejak Leluhur, dia bersama kawannya terus mendorong para generasi muda adat di sektarnya untuk memperjuangkan wilayah adatnya.

“Melihat kondisi sekarang 5-10 tahun ke depan kita mungkin akan mengalami kekeringan air bersih,” tulis Arwan Oscar dalam status facebooknya.

Pada kesempatan yang sama, dalam rangka patroli hutan adat ini, rombongan juga membuat film dokumenter tentang kerusakan hutan di sekitar perairan sungai. Film ini bertujuan untuk menunjukkan kondisi kerusakan hutan khususnya di perairan sungai.

“Film yang kita buat itu mengenai kerusakan hutan di perairan sungai. Ini adalah salah satu sisi dari hutan adat Dubalang Anak Talang yang luasnya ± 24.000 hektar,” kata Aan Pardinata, anggota BPAN Talang Mamak.

 

Ritual Tiwah

Oleh Hantingan

 

Rabu 8 Juni 2016 – Masyarakat Adat Datah Poah (Cangkang) Kecamatan Tanah Siang Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah tengah melaksanakan ritual adat memindahkan tulang –belulang manusia yang sudah lama meninggal untuk persiapan kegiatan Totoh/ Tiwah (ritual menghantar roh yang bersangkutan menuju lewu tatau/ surga).

Ritual adat ini memang sudah dilakukan oleh Suku Dayak Siang Murung yang beragama Hindu Kaharingan dari zaman nenek moyang terdahulu yang maknanya yaitu untuk memindahkan tulang tersebut dari peti jenazah lalu dipindahkan ke rumah berbentuk kecil atau yang biasa disebut dengan sandung.

Ritual  ini dilaksanakan oleh keluarga almarhum. Prosesi acaranya yaitu menggali kembali kuburan jenazah yang sudah lama dikubur, lalu membongkar peti jenazah tersebut dan mengumpulkan tulang-tulangnya untuk dibersihkan dan kemudian memasukkannya ke dalam sandung dengan keadaan bersih. Di dalam sandung tersebut sudah tersedia satu kain bahalai dan satu stel pakaian untuk alas tempat tulang-tulang tersebut.

Untuk melakukan ritual ini tidak bisa sembarangan. Dalam ritual ini harus ada yang namanya basi/ basir sebagai pemimpin ritualnya. Selain itu juga harus disediakan babi dan ayam sebagai konsumsi semua orang yang melaksanakan ritual tersebut maupun tamu undangan.

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish